Minggu, 05 Desember 2021

DE LITURGIA ROMANA ET INCULTURATIONE (RINGKASAN DAN KOMENTAR)


DE LITURGIA ROMANA ET INCULTURATIONE

LITURGI ROMAWI DAN INKULTURASI

Instruksi IV tentang Pelaksanaan Konstitusi Liturgi Vatikan No. 37-40 Secara Benar

Pengantar

Usaha-usaha yang dilakukan oleh Gereja dalam proses membangun kehidupan Kristiani salah satunya adalah dengan membuat liturgi menjadi suatu perayaan umat atau mengumatkan liturgi. Dalam Konstitusi Liturgi no. 19 ditegaskan bahwa Gereja ingin membuat liturgi menjadi perayaan iman sesuai dengan pembawaan kebudayaan umat dimana mereka tinggal dan hidup. Konsep yang dibuat dalam Konstitusi ini pada akhirnya mengandung beberapa konsekuensi. Salah satu konsekuensi dari konsep ini adalah bahwa Gereja wajib memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa berbagai suku dan bangsa. Namun konsekuensi lain yang timbul adalah bahwa Gereja harus mengakui keanekaragaman perayaan liturgi dan menerima dengan jiwa besar karya Allah Roh Kudus dalam “Gereja-gereja khusus”.

Tugas lain dari Gereja dalam hal liturgi adalah sebagai perintis yang harus menyesuaikan liturgi dengan budaya dan tradisi bangsa-bangsa. Untuk mencapai tugas tersebut, Gereja berani mengadakan satu pembaharuan yang radikal, suatu pembaharuan liturgi yang lebih mendalam dan lebih sulit, suatu pengintegrasian liturgi ke dalam kebudayaan bangsa-bangsa. Tujuan utama pembaharuan ini adalah demi suatu penghayatan iman yang otentik. Dan pembaharuan ini adalah usaha Gereja dalam melaksanakan inkulturasi.

Melaksanakan inkulturasi secara seragam di dalam Gereja yang universal bukanlah hal yang mudah. Maka untuk menghindari kesimpangsiuran dalam pemahaman tentang inkulturasi dan perwujudannya dalam praktik, Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen telah mengeluarkan satu pedoman, yang disebut Instruksi IV tentang Pelaksanaan Konstitusi Liturgi secara baik dan benar dengan judul LITURGI ROMAWI DAN INKULTURASI. Instruksi ini berusaha menjabarkan lebih rinci asas-asas umum tentang penyesuaian liturgi dengan ciri-ciri khas dan situasi aneka bangsa, memberikan penjelasan yang lebih baik tentang petunjuk-petunjuk dan peraturan yang harus dilaksanakan.

Bab 1 Proses Inkulturasi Sepanjang Sejarah Keselamatan

            Permasalahan-permasalahan dalam inkulturasi Gereja Ritus Romawi telah dapat ditemukan dalam sejarah keselamatan. Proses inkulturasi tersebut adalah proses yang berkembang dengan berbagai macam cara. Hal ini tampak dalam sejarah keselamatan bangsa Israel. Sepanjang sejarah, mereka telah menyimpan kesadaran bahwa mereka adalah bangsa yang dipilih Allah, saksi karya dan cinta Allah di antara para bangsa. Mereka mengambil dari bangsa-bangsa tetangga bentuk-bentuk ibadat tertentu. Iman mereka kepada Allah Abraham, Ishak, dan Yakub mengubah barang-barang pinjaman tersebut secara mendalam dengan memberinya arti yang baru. Tetapi sering terjadi bahwa perubahan tersebut hanya terjadi dalam bentuk, sekadar supaya unsur-unsur tersebut dapat dipadukan dalam praktik agama untuk merayakan kenangan akan karya Allah yang mengagumkan di dalam sejarah mereka.

Santo Sirilus dari Alexandria dalam bukunya In Ioannem mengatakan bahwa hukum Musa, kitab Nabi-nabi, dan Mazmur adalah persiapan untuk kedatangan Putra Allah di bumi. Kitab Perjanjian yang memuat kehidupan dan perjalanan bangsa dan budaya Israel juga merupakan sejarah keselamatan. Putra Allah, Yesus Kristus, yang lahir ke dunia melalui seorang perempuan merupakan suatu aplikasi budaya bahwa Ia hidup di bawah hukum yaitu lahir dari seorang perempuan. Setelah lahir, Dia memadukan diri dengan situasi sosial dan budaya umat Perjanjian. Ia hadir, hidup, dan berdoa bersama mereka. Dengan memilih menjadi seorang manusia, Ia menjadi anggota suatu bangsa, anggota suatu negara serta zaman dan dalam cara tertentu Ia menyatukan Diri dengan seluruh budaya dan bangsa manusia. Ia bahkan disebut sebagai Adam baru karena manusia satu dalam Kristus dan kodrat kemanusiaan kita sama-sama beroleh hidup dalam Dia.

Kelahiran Kristus ke dunia dan menjadi manusia seperti kita dan kemudian mati di kayu salib, adalah cara-Nya untuk menghimpun anak-anak Allah yang tercerai-berai. Kematian-Nya membawa makna bahwa Ia hendak menghancurkan tembok pemisah di antara manusia, menjadikan Israel dan para bangsa satu umat. Kebangkitan-Nya dari alam maut membawa semua manusia kembali kepada-Nya dan Ia menciptakan manusia baru dan dunia baru dan semua orang menjadi ciptaan baru. Kegelapan berubah menjadi terang, janji berubah menjadi kenyataan, dan semua dambaan religius manusia telah digenapi. Yesus wafat di kayu salib dan pada waktunya Ia pergi menghadap Bapa-Nya yang ada di sorga. Ketika pergi menghadap Bapa-Nya, Ia tidak membiarkan para murid begitu saja tanpa ada pesan dan perutusan. Ia justru memberi jaminan kepada para murid-Nya tentang kehadiran-Nya kembali dan kemudian mengutus mereka untuk mewartakan kabar gembira kepada segala makhluk. Para murid juga diutus untuk menjadi misionaris tangguh dan membaptis siapa saja untuk kemudian menjadikan segala bangsa menjadi murid-Nya. Menjadikan segala bangsa menjadi murid Kristus berarti mengandaikan bahwa yang dipanggil berasal dari berbagai latar belakang suku, bahasa, bangsa dan negara.

Sesudah kebangkitan Yesus, para rasul dan jemaat Kristen perdana berkumpul pada hari pertama dalam pekan, yang mereka sebut sebagai hari Tuhan. Mereka melakukan perintah Yesus sendiri untuk memecah-mecahkan roti yaitu sebagai kenangan akan kisah sengsara Kristus. Hal itu dilakukan dalam kerangka perjamuan paskah Yahudi. Mereka secara spontan mengambil bentuk teks ibadat Yahudi dan menyesuaikannya untuk menemukan corak baru dan radikal dari ibadat Kristen yang sesungguhnya. Di bawah bimbingan Roh Kudus, mereka memilah-milah dari warisan ibadat Yahudi. Mereka memilah mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus dibuang.

Para rasul dan jemaat perdana melaksanakan perintah Yesus untuk melanjutkan karya-Nya dengan mewartakan kabar keselamatan kepada seluruh bangsa. Mereka mewartakan Injil ke berbagai belahan dunia. Penyebaran Injil yang demikian tentu menyebabkan timbulnya berbagai macam bentuk peribadatan dalam Gereja-gereja yang bukan berasal dari bangsa-bangsa Yahudi. Perbedaan yang demikian adalah hal yang sangat wajar dan dapat dimaklumi karena memang disebabkan oleh pengaruh tradisi budaya yang berbeda-beda. Pada kesempatan inilah, Roh Kudus tetap berkarya terus-menerus bagi seluruh umat-Nya. Roh Kudus membimbing Gereja mempertimbangkan untuk membedakan unsur-unsur budaya kafir yang tidak sesuai dengan kristianitas dari unsur-unsur yang sesuai dengan tradisi para rasul. Dengan demikian, berkat bimbingan Roh Kudus, peribadatan yang berbeda-beda tersebut tidak menyimpang dari Injil keselamatan.

Bab 2 Tuntutan dan Syarat Awal Untuk Inkulturasi Gereja

a)    Tuntutan yang Timbul dari Hakikat Liturgi

            Paus Yohanes Paulus dalam Surat Apostolik Vicesimus quintus annus no. 2 mengatakan bahwa di dalam liturgi hakikat Gereja diungkapkan. Oleh karenanya hakikat liturgi berkaitan erat dengan hakikat Gereja sebab Gereja mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakannya dari himpunan dan persekutuan lain. Gereja lahir dan berkembang bukan karena kekuatan manusia, tetapi karena Allah dan Roh Kudus memanggil dan manusia menanggapi panggilan-Nya dalam iman. Hal ini tampak jelas dalam kata dasar Gereja yaitu Ekklesia yang berasal dari kata klesis yang berarti “memanggil”. Oleh karena sifat Gereja yang demikian, umat berkumpul, secara khusus pada hari Tuhan, sebagai bangsa imami dan dilayani oleh imam yang bertindak atas nama Kristus. Oleh Dekrit Presbyterorum ordinis, imam bertindak atas nama Kristus, Sang Kepala, karena imam telah diurapi berkat diterimanya sakramen Tahbisan.

            Sifat Katolik yang adalah universal menjadi alasan bagi Gereja untuk mengatasi halangan-halangan yang dapat memisahkan manusia. Berkat tahbisan yang sama, semua umat dijadikan sebagai anak-anak Allah dan membentuk satu umat dalam diri Yesus Kristus. Bersamaan dengan itu juga maka tidak ada lagi perbedaan antara Yahudi dan Yunani, tidak ada lagi budak dan orang bebas, dan tidak ada lagi laki-laki dan perempuan (bdk. Gal 3:28). Maka Gereja dipanggil untuk mengumpulkan semua bangsa dan berbicara dalam semua bahasa sehingga seluruh kebudayaan dapat diresapi. Gereja tidak berhenti pada satu suku bangsa dan kebudayaan, yaitu bangsa Israel sebagai bangsa pilihan, namun kehadiran Yesus Kristus yang mendirikan sendiri Gereja Katolik, membawa tawaran keselamatan kepada semua bangsa di dunia tanpa memandang suku, budaya, dan bangsa.

            Konstitusi Liturgi no. 7 menyebutkan bahwa Gereja adalah buah kurban Kristus. Oleh karenanya, liturgi harus selalu merupakan misteri Paskah Kristus, pemuliaan Allah Bapa dan pengudusan umat manusia yang dikuatkan oleh Roh Kudus. Dan menurut Misale Romanum nomor 1,7, dan 8, pada setiap perayaan Ekaristi, umat Kristen tidak hanya berkumpul pada setiap hari Minggu dan berkumpul di sekeliling altar di bawah pimpinan seorang imam dan mendengarkan sabda Allah. Tetapi dengan berkumpul dan merayakan Ekaristi, Misteri Paskah dihadirkan dengan cara yang berbeda-beda, yaitu dalam setiap perayaan Sakramen. Dengan demikian, ibadat Kristen menemukan ungkapannya yang paling dasariah apabila di seluruh dunia dirayakan perayaan Ekaristi di bawah pimpinan seorang imam dan sambil menantikan kedatangan-Nya dalam kemuliaan.

b)    Syarat-syarat Awal untuk Inkulturasi Liturgi

Langkah-langkah penting yang telah dilakukan oleh Gereja dalam proses inkulturasi adalah dengan menterjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa setempat. Hal ini dilakukan karena dirasa bahwa pewartaan Sabda Allah dalam bahasa setempat sangat berguna bagi umat setempat dalam perayaan liturgi mereka. Oleh karena pentingnya Sabda Allah dan supaya dapat diterima secara benar dan penuh buah, inkulturasi mengandaikan bahwa Kitab Suci sudah masuk ke dalam budaya dan dalam bahasa setempat.

Faktor yang penting dalam menentukan taraf inkulturasi liturgi yang diperlukan adalah dengan memperhatikan situasi dan tempat Gereja yang berbeda-beda. Akan berbeda situasinya antara negara yang telah menerima Injil sejak berabad-abad dan yang kebudayaannya terus-menerus dipengaruhi iman Kristen dengan negara-negara yang baru menerima Injil, yang kebudayaannya belum diresapi Injil secara mendalam. Akan berbeda pula situasi apabila Gereja di mana umat Kristen merupakan penduduk minoritas. Lebih kompleks lagi apabila suatu bangsa memiliki bahasa dan kebudayaan yang beraneka ragam. Untuk dapat menyelesaikan masalah yang demikian maka sangat diperlukan penilaian situasi yang benar.

Salah satu cara yang tepat yang dapat dilakukan oleh Konferensi Waligereja untuk mempersiapkan inkulturasi liturgi adalah dengan mengundang orang-orang yang berwenang dalam tradisi liturgi Ritus Romawi dan mereka yang memiliki penghargaan terhadap nilai-nilai budaya setempat. Mereka harus dipersiapkan juga untuk mendalami liturgi dan inkulturasi dengan studi tentang segi historis, biblis, dan juga teologis. Khususnya mereka yang lahir di negara setempat harus diuji juga dengan pengalaman pastoral kaum rohaniwan setempat. Perlu juga diminta nasihat dari orang bijak setempat dimana orang tersebut diyakini telah diperkaya dengan terang Injil. Hal ini semua dilakukan supaya inkulturasi liturgi mampu memuaskan kebutuhan budaya tradisional dengan memperhatikan perkembangan budaya setempat dan sekitar.

c)     Tanggung Jawab Konferensi Waligereja

Konstitusi Sacrosanctum Concilium menegaskan bahwa Konferensi uskup setempat yang didirikan secara sah memiliki tanggung jawab khusus mengenai inkulturasi. Maka Konferensi Waligereja harus dengan tekun dan bijaksana mempertimbangkan unsur-unsur tradisi dan ciri khas masing-masing bangsa terutama dalam hal ibadat Ilahi. Konferensi Waligereja dapat memasukkan ke dalam liturgi unsur-unsur yang tidak secara mutlak terikat pada takhayul atau ajaran sesat asal saja unsur-unsur itu selaras dengan hakikat semangat liturgi yang sejati dan asli. Tugas ini diserahkan kepada Konferensi Waligereja karena inkulturasi sangat berkaitan dengan seluk-beluk budaya setempat.

Bab 3 Asas dan Kaidah Praktis Inkulturasi Ritus Romawi

Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam merencanakan atau melaksanakan inkulturasi Ritus Romawi, yaitu tujuan inkulturasi, kesatuan hakiki Ritus Romawi, dan kewibawaan yang berwenang.

Yang pertama adalah Tujuan Inkulturasi. Konsili Vatikan II menggariskan bahwa tujuan inkulturasi Ritus Romawi adalah sebagai dasar pemugaran umum liturgi. Maksudnya ialah bahwa dalam pembaharuan itu naskah dan upacara-upacara harus diatur sedemikian rupa sehingga lebih jelas mengungkapkan hal-hal kudus yang dilambangkannya. Dengan demikian, umat Kristen dapat menangkapnya dengan mudah dan dapat mengikutinya dalam perayaan secara penuh dan aktif. Selain itu, tata perayaan juga hendaknya dibuat sesuai dengan daya tangkap umat dan jangan sampai memerlukan banyak penjelasan yang dapat mengaburkan nilai-nilai utama dari liturgi. Namun harus tetap juga diperhatikan hakikat liturgisnya seperti ciri biblis dan tradisional dari kerangka perayaan tersebut.

Yang kedua adalah Kesatuan Hakiki Ritus Romawi. Proses inkulturasi harus tetap mempertahankan kesatuan hakiki Ritus Romawi. Dalam Sidang Pleno Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen, Paus Yohanes Paulus II menekankan bahwa Gereja-gereja setempat harus dapat bekerja sama dengan Gereja universal sehingga ritus Romawi dapat mempertahankan identitasnya dan dapat menampung penyesuaian-penyesuaian yang serasi. Harus diingat bahwa inkulturasi tidak dapat disamakan dengan penciptaan ritus alternatif. Karya inkulturasi tidak berarti menuntut diciptakannya rumpun liturgi baru, namun tujuan dari inkulturasi adalah menanggapi kebutuhan-kebutuhan budaya setempat dan mengarah ke penyesuaian-penyesuaian yang masih tetap berada dalam kesatuan dengan ritus Romawi. Kesatuan ini biasanya diungkapkan dalam buku-buku liturgi yang diterbitkan oleh Takhta Suci dan buku-buku yang disahkan oleh Konferensi Waligereja.

Yang ketiga adalah Kewibawaan yang Berwenang. Penyesuaian-penyesuaian Ritus Romawi, termasuk dalam hal inkulturasi, seluruhnya tergantung pada wewenang Gereja. Wewenang yang dimaksud menurut Kitab Hukum Kanonik kanon 447 adalah Takhta Suci, yang dilaksanakan melalui Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen. Selain itu, wewenang yang sama dapat juga ada pada Konferensi Waligereja dan pada uskup-uskup diosesan sesuai dengan batas-batas yang telah ditetapkan oleh hukum Gereja. Selain mereka yang disebut di atas, tidak seorang pun, termasuk imam, boleh menambahkan, meniadakan, atau mengubah sesuatu dalam liturgi atas prakarsanya sendiri. Apabila ada persetujuan yang diberikan kepada satu daerah untuk melaksanakan inkulturasi, hal itu tidak dapat digunakan oleh daerah lain tanpa ada izin resmi dari yang berwenang. Maka inkulturasi tidak dapat dilakukan oleh inisiatif pribadi pemimpin ibadat maupun kelompok umat secara bersama.

Bab 4 Bidang-bidang di Dalam Ritus Romawi

Hal penting yang pertama-tama dilakukan dalam inkulturasi adalah menerjemahkan dan merevisi buku-buku liturgi ke dalam bahasa setempat. Pihak Takhta Suci berwenang memberikan petunjuk-petunjuk atas penyelesaian terjemahan dan revisinya. Terjemahan harus dapat dimengerti oleh semua pihak yang ikut serta dalam ibadat dan cocok digunakan liturgi, baik dilafalkan maupun dinyanyikan, dengan aklamasi-aklamasi yang sesuai oleh umat. Terjemahan yang diusahakan harus tetap mempertahankan editio typica bahasa Latin walaupun jenis sastra yang berbeda-beda harus dihargai.

Gereja yakin bahwa semua bangsa memiliki bahasa religius yang cocok untuk mengungkapkan doa. Namun demikian, bahasa liturgi memiliki ciri khas, yaitu dijiwai oleh Kitab Suci. Beberapa kata yang biasa dalam bahasa Latin biasa memiliki arti baru dalam iman Kristen. Seperti kata-kata ecclesia, evangelium, baptisma, dan eucharistia adalah ungkapan-ungkapan Kristen yang dapat dialihkan dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Selain itu, para penerjemah harus memperhatikan hubungan antara teks dan tindakan liturgis yang bersangkutan. Mereka harus sadar akan kebutuhan komunikasi lisan dan peka terhadap mutu sastra dari bahasa setempat yang hidup.

Penyesuaian yang berikut adalah tentang Inisiasi Kristen. Walaupun ada perbedaan paham tentang Inisiasi dalam berbagai kalangan bangsa tertentu, namun paham Inisiasi Kristen dimengerti dengan tiga Sakremen yang mengantar katekumen ke persatuan dengan Kristus dalam Gereja lewat Sakramen Baptis, Krisma, dan Ekaristi. Dalam hal ini, Konferensi Waligereja harus menguji dengan saksama dan bijaksana, unsur-unsur mana yang layak diambil dari tradisi dan ciri khas masing-masing bangsa. Untuk tata cara Inisiasi di daerah misi, Konferensi harus memutuskan apakah tata cara yang berlaku di kalangan bangsa yang bersangkutan dapat disesuaikan untuk tata cara Inisiasi Kristen. Layak-tidaknya tata cara tersebut ditentukan oleh Konferensi Waligereja yang bersangkutan. Setelah mendapat persetujuan dari Takhta Suci, setiap Gereja setempat dan tarekat religius dapat menambahkan perayaan-perayaannya sendiri pada perayaan-perayaan Gereja semesta. Selain itu, dengan persetujuan Takhta Suci, Konferensi Waligereja dapat menghapus beberapa hari pesta atau mengalihkannya ke suatu hari Minggu.

 

Refleksi dan Komentar atas Dokumen

Gereja Dalam Realitas Kemajemukan

            Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes memulai dengan ungkapan bahwa kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan umat manusia juga menjadi kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan Gereja. Dengan itu mau dikatakan bahwa Gereja adalah bagian dari dunia dan tidak bisa lepas serta menghindar darinya. Gereja ada dalam dunia, dalam masyarakatnya, dalam adat-istiadat dan budayanya. Gereja bukan hanya milik orang-orang Yahudi, orang-orang Romawi, dan orang-orang Timur Tengah atau Eropa. Gereja menyadari diri bahwa dirinya bukan pusat dan segalanya, namun kawanan yang berada bersama kawanan yang lain. Masyarakat dunia yang semakin plural semakin disadari oleh dunia. Tidak hanya itu, disadarinya pula dengannya bahwa Gereja dipanggil untuk diutus memberikan sumbangan dan perannya di dalam dan di tengah kehidupan dunia sehingga dalam bahasa Injil dapat menjadi “garam dan ragi” bagi dunia kehidupan bersama ini.

            Gereja masa kini adalah gereja yang semakin mendunia, dimana telah hadir imam-imam lokal sebagai soko guru utama Gereja setempat, yang semakin menjadikan Gereja tidak lagi menjadi Gereja misi, namun Gereja setempat. Gereja Katolik Indonesia misalnya, sudah sejak 1961 dinyatakan sebagai Gereja mandiri dengan hirarki sendiri betapapun pada waktu itu baru memiliki dua uskup pribumi. Namun sebagai Gereja muda, Gereja Katolik sudah menunjukkan prospek dan wajah cerah, dalam gerak yang mencoba pula membangun teologi serta cara menggereja yang sesuai dengan konteks Indonesia. Di sini, Gereja Indonesia sedang berinkulturasi. Dampak dari inkulturasi yang dicipta oleh Gereja Indonesia adalah bahwa Gereja semakin plural dan semakin menjadi Gereja dunia. Di sisi lain, Gereja plural itu adalah Gereja setempat, Gereja yang mencoba hidup dalam konteks setempat, hadir dan memberikan diri di tengah kenyataan sebagai tanda dan wujud kesaksian imannya akan Kristus. Dengan kata lain, Gereja setempat (Indonesia) sedang berinkulturasi.

            Mengapa penting melaksanakan inkulturasi? Mungkin pertanyaan inilah yang akan sering muncul ketika membahas tentang usaha Gereja dalam menterjemahkan bahasa Injil ke dalam bahasa setempat ini. Menjawab pertanyaan ini, penulis langsung teringat akan satu kata ini: Kemajemukan. Kemajemukan bukan saja hanya fakta yang dialami oleh masyarkat, melainkan kemendesakan. Penulis mengatakan kemendesakan karena realitas kemajemukan merupakan sesuatu yang mendesak untuk disadari, direfleksikan serta mendesak untuk menjadi bagian nyata dan hakiki dalam hidup Gereja. Maka menurut hemat penulis, usaha untuk berinkulturasi adalah usaha yang dilakukan oleh Gereja katolik dalam memandang kenyataan ini serta melihatnya sebagai tantangan sekaligus panggilan Gereja.

Inkulturasi: Menyatakan Iman di Tengah Budaya Zaman

            Kebudayaan terkait erat dengan agama, dengan dimensi Ilahi, bahkan kebudayaan sering mendapat pengaruh oleh agama. Karena itu, penghargaan terhadap budaya juga mengandung penghargaan terhadap agama. Melalui kebudayaannya, manusia bergulat di tengah segala arus dan peristiwa yang ada untuk mencari kebenaran. Melalui budaya, pribadi manusia membangun serta mewujudkan hakikat dirinya. Maka penulis boleh memberi kesimpulan bahwa kebudayaan tidak bisa lepas dari iman dan dari agama. Memang iman tidak identik dengan atau tergantung pada kebudayaan tertentu, namun iman memberi inspirasi dan membentuk kebudayaan. Demikian juga dalam kuliah teologi agama-agama yang sedang penulis ikuti, mengatakan bahwa dalam kebudayaan sudah tertanam nilai-nilai yang disebut sebagai benih-benih sabda (semina verbi). Maka sangat perlu dipelihara dan dihargai apa yang baik, benar, dan sehat dalam tradisi kebudayaan.

            Oleh karena keterikatan antara iman dan budaya, Gereja senantiasa akan bertemu dengan budaya-budaya lain dan karena itu terlibat dalam proses inkulturasi. Proses inkulturasi sangat diharapkan mampu membawa perubahan tranformatif nilai-nilai asli budaya lewat integrasinya dengan iman Katolik. Menurut hemat penulis, proses inkulturasi tersebut harus berada dalam dua pihak: iman Katolik berintegrasi ke dalam budaya setempat, dan budaya setempat berintegrasi ke dalam iman Katolik. Maka inkulturasi hendaknya tidak menghilangkan unsur-unsur original dari iman Katolik dan unsur-unsur original dalam budaya, melainkan keduanya saling meneguhkan dan mengukuhkan.

            Kebudayaan berkaitan erat dengan dimensi Ilahi sebab inti terdalam setiap kebudayaan adalah langkah pencariannya akan misteri terbesar umat manusia, yakni misteri Allah.  Oleh karena itu iman dan pewartaan Injil berperan penting untuk menumbuhkembangkan budaya manusiawi. Lewat dan dalam budayanya, manusia bergulat di tengah segala arus dan peristiwa yang ada untuk mencari kebenaran, mewujudkan keberadaanya sebagai ciptaan Allah. Maka inkulturasi tidak saja menjadi proses pewujudnyataan atau penghayatan iman dalam konteks budaya setempat, tetapi juga merupakan proses penyingkapan misteri Ilahi dalam ruang kehidupan manusia. Inkulturasi merupakan suatu langkah dan tindakan iman.

Sebagai tindakan iman, inkulturasi tidak bisa dilepaskan dari misteri penjelmaan serta penebusan Kristus, yang kedatangan-Nya memperbarui dunia kehidupan. Maka menurut refleksi penulis, inkarnasi sendiri adalah dasar untuk melaksanakan inkulturasi. Dengan berinkarnasi, Allah mengenakan kodrat manusia dalam diri Yesus Kristus. Ia menjadi manusia dan memakai bahasa manusia untuk menyampaikan pesan keselamatannya, dan dengan itu memperbarui hidup manusia. Demikian juga hendaknya inkulturasi, yakni iman dan pewahyuan Injil harus berinkarnasi dalam keberagaman budaya. Hal ini sungguh berdasar karena dalam tradisi kebudayaan manusia, Allah mengerjakan karya keselamatan-Nya. Maka, mengenali karya keselamatan Allah di dalam tradisi kebudayaan yang ada, berarti pula mengenali bagaimana Yesus Kristus berkarya dalam mereka.

Oleh karena itu, pertemuan antara iman dan kebudayaan bukanlah sekadar persoalan antropologis belaka, namun pertemuan tersebut memiliki dasar teologis, yakni dialog keselamatan antara Allah dengan umat manusia. Umat manusia dipanggil Allah untuk ikut ambil bagian dalam rencana keselamatan Allah dalam diri Yesus Kristus untuk mewujudkan Kerajaan Allah. Maka beriman kepada Yesus Kristus tidak saja mengubah pribadi secara batiniah, namun juga memperbarui masyarakat dan kebudayaannya. Beriman kepada Yesus Kristus juga akan melahirkan budaya yang baru, yakni budaya kasih dan budaya keselamatan. Selain teologi keselamatan, teologi Paskah juga menjadi dasar dari inkulturasi. Hal ini tampak pada pengalaman Pentakosta, yakni ketika bahasa dan budaya yang berbeda-beda disatukan karena sama-sama menerima pewartaan iman Allah dalam diri Yesus Kristus berkat Roh Kudus.

Menurut hemat penulis, inkulturasi juga merupakan bagian dari misi Gereja universal. Misi yang penulis maksud disini ialah misi yang menjadikan Gereja berakar pada budaya setempat dan membentuk paguyuban iman setempat berdasar kekayaan kultural yang mereka miliki. Oleh karena itu, inkulturasi bukan hanya tugas sekelompok orang atau lembaga Vatikan tertentu, melainkan tugas seluruh Gereja (Umat Allah). Tujuan dari misi inkulturasi adalah supaya mereka mampu menghayati imannya secara konkret dalam kehidupan mereka sehari-hari dan supaya umat manusia dapat menggali nilai-nilai yang baik yang terkandung di dalam budayanya. Dengan inkulturasi, umat manusia dapat menghayati imannya dengan baik dan terlibat penuh dalam imannya tersebut serta menghidupinya secara lebih jelas dalam cara hidup dan cara pandang budayanya.

Liturgi adalah sumber dan puncak hidup serta perutusan umat Kristiani. Karena itu, liturgi pun tidak bisa tidak membutuhkan suatu proses inkulturasi. Inkulturasi dalam liturgi bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan. Inkulturasi dalam liturgi harus memiliki dua kriteria dasar, yakni kesesuaian dengan Injil dan kesatuan dengan Gereja universal. Maka sangat diperlukan kemampuan untuk mempertimbangkan apa yang berguna dan perlu dan apa yang tidak berguna dan bahkan membahayakan iman. Perlu adanya kerja sama yang terbuka dengan Vatikan, sebab liturgi suci merupakan ungkapan dan perayaan iman yang satu bagi semua, yang menjadi kekayaan seluruh Gereja. Maka tidak dibenarkan untuk melaksankan inkulturasi sepihak oleh Gereja setempat, tetapi harus mendapat persetujuan oleh pihak berwenang yang telah ditunjuk oleh Vatikan.

Tantangan Inkulturasi

            Penulis percaya penuh akan otoritas yang berwenang dalam proses inkulturasi, yakni Tahkta Suci, dalam hal ini Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen. Ketaatan kepada Paus dan pihak-pihak yang berwenang tidak dapat ditawar-tawar sebab memang demikianlah iman Gereja mengatakannya. Namun penulis melihat ada satu kelemahan atau tantangan yang mungkin akan dihadapi oleh Gereja ketika hendak menjalankan proses inkulturasi. Kelemahan yang penulis lihat ini berasal dari sebuah refleksi pribadi setelah membaca dan mendalami dokumen dan bukan sebagai bentuk ketidaktaatan terhadap otoritas tertinggi Gereja. Tantangan itu ialah: terjadinya miscommunication antara Gereja lokal yang menjalani inkulturasi dengan pihak Roma.

“Proses inkulturasi harus mempertahankan kesatuan hakiki dengan ritus Romawi (no.36). Penyesuaian-penyesuaian ritus Romawi, juga dalam bidang inkulturasi, tergantung sepenuhnya pada wewenang Gereja (Takhta Suci) (no.37).

Dengan pernyataan di atas, penulis melihat ada kesan bahwa proses inkulturasi sebagai proses sepihak dan monolog, dengan dominasi suara dari Roma, dan bukan dialog. Padahal dengan menyadari bahwa Injil dan tradisi Kristiani pun memiliki muatan kultural, maka inkulturasi senantiasa berarti suatu dialog budaya. Maka muncul pertanyaan, apakah Vatikan sungguh memberi kepercayaan dan kebebasan kepada Gereja lokal untuk melaksanakan inkulturasi? Apabila tidak diberi “kebebasan”, apakah Vatikan mau menilai budaya lokal dengan perspektif budaya dan tradisi Eropa (yang sudah lama dikenalnya)? Hal ini sesungguhnya tidak diinginkan terjadi. Pertemuan kultural harus disadari bersama (baik pihak Vatikan dan Gereja lokal) bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang terlepas dari konteks hidup. Iman senantiasa harus diwujudnyatakan dalam konteks hidup setempat. Demikian bahwa perlu juga disadari bahwa dunia dewasa ini ada dalam konteks kemajemukan, dan kemajemukan tersebut menuntut adanya dialog. Vatikan dan Gereja lokal hendaknya mampu melaksanakan dialog yang dapat menemukan titik terang, yakni inkulturasi yang sehat.

            Inkulturasi sebagai proses sudah berjalan sejak awal Gereja, maka umurnya pun sudah setua umur Gereja sendiri. Proses tersebut masih tetap berjalan, dan tidak akan pernah terhenti, sebab Gereja masih harus menapaki dinamika hidup dan perutusannya, lengkap dengan segala upaya untuk menjadikan imannya dinyatakan di tengah budaya zaman, agar iman tersebut hidup dan berbicara di tengah realitas zaman yang ada.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Filsafat Pengetahuan dalam Kehidupan Sehari-hari

              Filsafat pengetahuan adalah satu dari beberapa cabang ilmu filsafat yang secara lebih mendalam membahas tentang manusia dan ...