DE LITURGIA ROMANA ET INCULTURATIONE
LITURGI
ROMAWI DAN INKULTURASI
Instruksi
IV tentang Pelaksanaan Konstitusi Liturgi Vatikan No. 37-40 Secara Benar
Pengantar
Usaha-usaha
yang dilakukan oleh Gereja dalam proses membangun kehidupan Kristiani salah
satunya adalah dengan membuat liturgi menjadi suatu perayaan umat atau
mengumatkan liturgi. Dalam Konstitusi Liturgi no. 19 ditegaskan bahwa Gereja
ingin membuat liturgi menjadi perayaan iman sesuai dengan pembawaan kebudayaan
umat dimana mereka tinggal dan hidup. Konsep yang dibuat dalam Konstitusi ini
pada akhirnya mengandung beberapa konsekuensi. Salah satu konsekuensi dari
konsep ini adalah bahwa Gereja wajib memelihara dan memajukan kekayaan yang
menghiasi jiwa berbagai suku dan bangsa. Namun konsekuensi lain yang timbul
adalah bahwa Gereja harus mengakui keanekaragaman perayaan liturgi dan menerima
dengan jiwa besar karya Allah Roh Kudus dalam “Gereja-gereja khusus”.
Tugas
lain dari Gereja dalam hal liturgi adalah sebagai perintis yang harus
menyesuaikan liturgi dengan budaya dan tradisi bangsa-bangsa. Untuk mencapai
tugas tersebut, Gereja berani mengadakan satu pembaharuan yang radikal, suatu
pembaharuan liturgi yang lebih mendalam dan lebih sulit, suatu pengintegrasian
liturgi ke dalam kebudayaan bangsa-bangsa. Tujuan utama pembaharuan ini adalah
demi suatu penghayatan iman yang otentik. Dan pembaharuan ini adalah usaha
Gereja dalam melaksanakan inkulturasi.
Melaksanakan
inkulturasi secara seragam di dalam Gereja yang universal bukanlah hal yang
mudah. Maka untuk menghindari kesimpangsiuran dalam pemahaman tentang
inkulturasi dan perwujudannya dalam praktik, Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib
Sakramen telah mengeluarkan satu pedoman, yang disebut Instruksi IV tentang
Pelaksanaan Konstitusi Liturgi secara baik dan benar dengan judul LITURGI
ROMAWI DAN INKULTURASI. Instruksi ini berusaha menjabarkan lebih rinci asas-asas
umum tentang penyesuaian liturgi dengan ciri-ciri khas dan situasi aneka
bangsa, memberikan penjelasan yang lebih baik tentang petunjuk-petunjuk dan
peraturan yang harus dilaksanakan.
Bab
1 Proses Inkulturasi Sepanjang Sejarah Keselamatan
Permasalahan-permasalahan dalam inkulturasi
Gereja Ritus Romawi telah dapat ditemukan dalam sejarah keselamatan. Proses
inkulturasi tersebut adalah proses yang berkembang dengan berbagai macam cara.
Hal ini tampak dalam sejarah keselamatan bangsa Israel. Sepanjang sejarah,
mereka telah menyimpan kesadaran bahwa mereka adalah bangsa yang dipilih Allah,
saksi karya dan cinta Allah di antara para bangsa. Mereka mengambil dari
bangsa-bangsa tetangga bentuk-bentuk ibadat tertentu. Iman mereka kepada Allah
Abraham, Ishak, dan Yakub mengubah barang-barang pinjaman tersebut secara
mendalam dengan memberinya arti yang baru. Tetapi sering terjadi bahwa
perubahan tersebut hanya terjadi dalam bentuk, sekadar supaya unsur-unsur
tersebut dapat dipadukan dalam praktik agama untuk merayakan kenangan akan
karya Allah yang mengagumkan di dalam sejarah mereka.
Santo
Sirilus dari Alexandria dalam bukunya In Ioannem mengatakan bahwa hukum
Musa, kitab Nabi-nabi, dan Mazmur adalah persiapan untuk kedatangan Putra Allah
di bumi. Kitab Perjanjian yang memuat kehidupan dan perjalanan bangsa dan
budaya Israel juga merupakan sejarah keselamatan. Putra Allah, Yesus Kristus,
yang lahir ke dunia melalui seorang perempuan merupakan suatu aplikasi budaya
bahwa Ia hidup di bawah hukum yaitu lahir dari seorang perempuan. Setelah
lahir, Dia memadukan diri dengan situasi sosial dan budaya umat Perjanjian. Ia
hadir, hidup, dan berdoa bersama mereka. Dengan memilih menjadi seorang
manusia, Ia menjadi anggota suatu bangsa, anggota suatu negara serta zaman dan
dalam cara tertentu Ia menyatukan Diri dengan seluruh budaya dan bangsa
manusia. Ia bahkan disebut sebagai Adam baru karena manusia satu dalam Kristus
dan kodrat kemanusiaan kita sama-sama beroleh hidup dalam Dia.
Kelahiran
Kristus ke dunia dan menjadi manusia seperti kita dan kemudian mati di kayu
salib, adalah cara-Nya untuk menghimpun anak-anak Allah yang tercerai-berai.
Kematian-Nya membawa makna bahwa Ia hendak menghancurkan tembok pemisah di
antara manusia, menjadikan Israel dan para bangsa satu umat. Kebangkitan-Nya
dari alam maut membawa semua manusia kembali kepada-Nya dan Ia menciptakan
manusia baru dan dunia baru dan semua orang menjadi ciptaan baru. Kegelapan
berubah menjadi terang, janji berubah menjadi kenyataan, dan semua dambaan religius
manusia telah digenapi. Yesus wafat di kayu salib dan pada waktunya Ia pergi
menghadap Bapa-Nya yang ada di sorga. Ketika pergi menghadap Bapa-Nya, Ia tidak
membiarkan para murid begitu saja tanpa ada pesan dan perutusan. Ia justru
memberi jaminan kepada para murid-Nya tentang kehadiran-Nya kembali dan kemudian
mengutus mereka untuk mewartakan kabar gembira kepada segala makhluk. Para
murid juga diutus untuk menjadi misionaris tangguh dan membaptis siapa saja
untuk kemudian menjadikan segala bangsa menjadi murid-Nya. Menjadikan segala
bangsa menjadi murid Kristus berarti mengandaikan bahwa yang dipanggil berasal
dari berbagai latar belakang suku, bahasa, bangsa dan negara.
Sesudah
kebangkitan Yesus, para rasul dan jemaat Kristen perdana berkumpul pada hari
pertama dalam pekan, yang mereka sebut sebagai hari Tuhan. Mereka melakukan
perintah Yesus sendiri untuk memecah-mecahkan roti yaitu sebagai kenangan akan
kisah sengsara Kristus. Hal itu dilakukan dalam kerangka perjamuan paskah
Yahudi. Mereka secara spontan mengambil bentuk teks ibadat Yahudi dan
menyesuaikannya untuk menemukan corak baru dan radikal dari ibadat Kristen yang
sesungguhnya. Di bawah bimbingan Roh Kudus, mereka memilah-milah dari warisan
ibadat Yahudi. Mereka memilah mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus
dibuang.
Para
rasul dan jemaat perdana melaksanakan perintah Yesus untuk melanjutkan
karya-Nya dengan mewartakan kabar keselamatan kepada seluruh bangsa. Mereka
mewartakan Injil ke berbagai belahan dunia. Penyebaran Injil yang demikian
tentu menyebabkan timbulnya berbagai macam bentuk peribadatan dalam
Gereja-gereja yang bukan berasal dari bangsa-bangsa Yahudi. Perbedaan yang
demikian adalah hal yang sangat wajar dan dapat dimaklumi karena memang
disebabkan oleh pengaruh tradisi budaya yang berbeda-beda. Pada kesempatan
inilah, Roh Kudus tetap berkarya terus-menerus bagi seluruh umat-Nya. Roh Kudus
membimbing Gereja mempertimbangkan untuk membedakan unsur-unsur budaya kafir
yang tidak sesuai dengan kristianitas dari unsur-unsur yang sesuai dengan
tradisi para rasul. Dengan demikian, berkat bimbingan Roh Kudus, peribadatan
yang berbeda-beda tersebut tidak menyimpang dari Injil keselamatan.
Bab
2 Tuntutan dan Syarat Awal Untuk Inkulturasi Gereja
a) Tuntutan
yang Timbul dari Hakikat Liturgi
Paus Yohanes Paulus dalam Surat
Apostolik Vicesimus quintus annus no. 2 mengatakan bahwa di dalam
liturgi hakikat Gereja diungkapkan. Oleh karenanya hakikat liturgi berkaitan
erat dengan hakikat Gereja sebab Gereja mempunyai ciri-ciri khusus yang
membedakannya dari himpunan dan persekutuan lain. Gereja lahir dan berkembang
bukan karena kekuatan manusia, tetapi karena Allah dan Roh Kudus memanggil dan
manusia menanggapi panggilan-Nya dalam iman. Hal ini tampak jelas dalam kata
dasar Gereja yaitu Ekklesia yang berasal dari kata klesis yang
berarti “memanggil”. Oleh karena sifat Gereja yang demikian, umat berkumpul,
secara khusus pada hari Tuhan, sebagai bangsa imami dan dilayani oleh imam yang
bertindak atas nama Kristus. Oleh Dekrit Presbyterorum ordinis, imam
bertindak atas nama Kristus, Sang Kepala, karena imam telah diurapi berkat
diterimanya sakramen Tahbisan.
Sifat Katolik yang adalah universal
menjadi alasan bagi Gereja untuk mengatasi halangan-halangan yang dapat
memisahkan manusia. Berkat tahbisan yang sama, semua umat dijadikan sebagai
anak-anak Allah dan membentuk satu umat dalam diri Yesus Kristus. Bersamaan
dengan itu juga maka tidak ada lagi perbedaan antara Yahudi dan Yunani, tidak
ada lagi budak dan orang bebas, dan tidak ada lagi laki-laki dan perempuan
(bdk. Gal 3:28). Maka Gereja dipanggil untuk mengumpulkan semua bangsa dan
berbicara dalam semua bahasa sehingga seluruh kebudayaan dapat diresapi. Gereja
tidak berhenti pada satu suku bangsa dan kebudayaan, yaitu bangsa Israel
sebagai bangsa pilihan, namun kehadiran Yesus Kristus yang mendirikan sendiri
Gereja Katolik, membawa tawaran keselamatan kepada semua bangsa di dunia tanpa
memandang suku, budaya, dan bangsa.
Konstitusi Liturgi no. 7 menyebutkan
bahwa Gereja adalah buah kurban Kristus. Oleh karenanya, liturgi harus selalu
merupakan misteri Paskah Kristus, pemuliaan Allah Bapa dan pengudusan umat
manusia yang dikuatkan oleh Roh Kudus. Dan menurut Misale Romanum nomor 1,7,
dan 8, pada setiap perayaan Ekaristi, umat Kristen tidak hanya berkumpul pada
setiap hari Minggu dan berkumpul di sekeliling altar di bawah pimpinan seorang
imam dan mendengarkan sabda Allah. Tetapi dengan berkumpul dan merayakan
Ekaristi, Misteri Paskah dihadirkan dengan cara yang berbeda-beda, yaitu dalam
setiap perayaan Sakramen. Dengan demikian, ibadat Kristen menemukan ungkapannya
yang paling dasariah apabila di seluruh dunia dirayakan perayaan Ekaristi di
bawah pimpinan seorang imam dan sambil menantikan kedatangan-Nya dalam
kemuliaan.
b) Syarat-syarat
Awal untuk Inkulturasi Liturgi
Langkah-langkah
penting yang telah dilakukan oleh Gereja dalam proses inkulturasi adalah dengan
menterjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa setempat. Hal ini dilakukan karena
dirasa bahwa pewartaan Sabda Allah dalam bahasa setempat sangat berguna bagi
umat setempat dalam perayaan liturgi mereka. Oleh karena pentingnya Sabda Allah
dan supaya dapat diterima secara benar dan penuh buah, inkulturasi mengandaikan
bahwa Kitab Suci sudah masuk ke dalam budaya dan dalam bahasa setempat.
Faktor
yang penting dalam menentukan taraf inkulturasi liturgi yang diperlukan adalah
dengan memperhatikan situasi dan tempat Gereja yang berbeda-beda. Akan berbeda
situasinya antara negara yang telah menerima Injil sejak berabad-abad dan yang
kebudayaannya terus-menerus dipengaruhi iman Kristen dengan negara-negara yang
baru menerima Injil, yang kebudayaannya belum diresapi Injil secara mendalam.
Akan berbeda pula situasi apabila Gereja di mana umat Kristen merupakan
penduduk minoritas. Lebih kompleks lagi apabila suatu bangsa memiliki bahasa
dan kebudayaan yang beraneka ragam. Untuk dapat menyelesaikan masalah yang
demikian maka sangat diperlukan penilaian situasi yang benar.
Salah
satu cara yang tepat yang dapat dilakukan oleh Konferensi Waligereja untuk
mempersiapkan inkulturasi liturgi adalah dengan mengundang orang-orang yang
berwenang dalam tradisi liturgi Ritus Romawi dan mereka yang memiliki
penghargaan terhadap nilai-nilai budaya setempat. Mereka harus dipersiapkan
juga untuk mendalami liturgi dan inkulturasi dengan studi tentang segi
historis, biblis, dan juga teologis. Khususnya mereka yang lahir di negara
setempat harus diuji juga dengan pengalaman pastoral kaum rohaniwan setempat.
Perlu juga diminta nasihat dari orang bijak setempat dimana orang tersebut
diyakini telah diperkaya dengan terang Injil. Hal ini semua dilakukan supaya
inkulturasi liturgi mampu memuaskan kebutuhan budaya tradisional dengan
memperhatikan perkembangan budaya setempat dan sekitar.
c) Tanggung
Jawab Konferensi Waligereja
Konstitusi
Sacrosanctum Concilium menegaskan bahwa Konferensi uskup setempat yang
didirikan secara sah memiliki tanggung jawab khusus mengenai inkulturasi. Maka
Konferensi Waligereja harus dengan tekun dan bijaksana mempertimbangkan
unsur-unsur tradisi dan ciri khas masing-masing bangsa terutama dalam hal
ibadat Ilahi. Konferensi Waligereja dapat memasukkan ke dalam liturgi
unsur-unsur yang tidak secara mutlak terikat pada takhayul atau ajaran sesat
asal saja unsur-unsur itu selaras dengan hakikat semangat liturgi yang sejati
dan asli. Tugas ini diserahkan kepada Konferensi Waligereja karena inkulturasi
sangat berkaitan dengan seluk-beluk budaya setempat.
Bab
3 Asas dan Kaidah Praktis Inkulturasi Ritus Romawi
Ada
tiga hal yang harus diperhatikan dalam merencanakan atau melaksanakan
inkulturasi Ritus Romawi, yaitu tujuan inkulturasi, kesatuan hakiki Ritus
Romawi, dan kewibawaan yang berwenang.
Yang
pertama adalah Tujuan Inkulturasi. Konsili Vatikan II menggariskan bahwa tujuan
inkulturasi Ritus Romawi adalah sebagai dasar pemugaran umum liturgi. Maksudnya
ialah bahwa dalam pembaharuan itu naskah dan upacara-upacara harus diatur
sedemikian rupa sehingga lebih jelas mengungkapkan hal-hal kudus yang
dilambangkannya. Dengan demikian, umat Kristen dapat menangkapnya dengan mudah
dan dapat mengikutinya dalam perayaan secara penuh dan aktif. Selain itu, tata
perayaan juga hendaknya dibuat sesuai dengan daya tangkap umat dan jangan
sampai memerlukan banyak penjelasan yang dapat mengaburkan nilai-nilai utama
dari liturgi. Namun harus tetap juga diperhatikan hakikat liturgisnya seperti
ciri biblis dan tradisional dari kerangka perayaan tersebut.
Yang
kedua adalah Kesatuan Hakiki Ritus Romawi. Proses inkulturasi harus tetap mempertahankan
kesatuan hakiki Ritus Romawi. Dalam Sidang Pleno Kongregasi Ibadat dan Tata
Tertib Sakramen, Paus Yohanes Paulus II menekankan bahwa Gereja-gereja setempat
harus dapat bekerja sama dengan Gereja universal sehingga ritus Romawi dapat
mempertahankan identitasnya dan dapat menampung penyesuaian-penyesuaian yang
serasi. Harus diingat bahwa inkulturasi tidak dapat disamakan dengan penciptaan
ritus alternatif. Karya inkulturasi tidak berarti menuntut diciptakannya rumpun
liturgi baru, namun tujuan dari inkulturasi adalah menanggapi
kebutuhan-kebutuhan budaya setempat dan mengarah ke penyesuaian-penyesuaian
yang masih tetap berada dalam kesatuan dengan ritus Romawi. Kesatuan ini
biasanya diungkapkan dalam buku-buku liturgi yang diterbitkan oleh Takhta Suci
dan buku-buku yang disahkan oleh Konferensi Waligereja.
Yang
ketiga adalah Kewibawaan yang Berwenang. Penyesuaian-penyesuaian Ritus Romawi,
termasuk dalam hal inkulturasi, seluruhnya tergantung pada wewenang Gereja.
Wewenang yang dimaksud menurut Kitab Hukum Kanonik kanon 447 adalah Takhta
Suci, yang dilaksanakan melalui Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen. Selain
itu, wewenang yang sama dapat juga ada pada Konferensi Waligereja dan pada
uskup-uskup diosesan sesuai dengan batas-batas yang telah ditetapkan oleh hukum
Gereja. Selain mereka yang disebut di atas, tidak seorang pun, termasuk imam,
boleh menambahkan, meniadakan, atau mengubah sesuatu dalam liturgi atas
prakarsanya sendiri. Apabila ada persetujuan yang diberikan kepada satu daerah
untuk melaksanakan inkulturasi, hal itu tidak dapat digunakan oleh daerah lain
tanpa ada izin resmi dari yang berwenang. Maka inkulturasi tidak dapat
dilakukan oleh inisiatif pribadi pemimpin ibadat maupun kelompok umat secara
bersama.
Bab
4 Bidang-bidang di Dalam Ritus Romawi
Hal
penting yang pertama-tama dilakukan dalam inkulturasi adalah menerjemahkan dan
merevisi buku-buku liturgi ke dalam bahasa setempat. Pihak Takhta Suci
berwenang memberikan petunjuk-petunjuk atas penyelesaian terjemahan dan revisinya.
Terjemahan harus dapat dimengerti oleh semua pihak yang ikut serta dalam ibadat
dan cocok digunakan liturgi, baik dilafalkan maupun dinyanyikan, dengan
aklamasi-aklamasi yang sesuai oleh umat. Terjemahan yang diusahakan harus tetap
mempertahankan editio typica bahasa Latin walaupun jenis sastra yang
berbeda-beda harus dihargai.
Gereja
yakin bahwa semua bangsa memiliki bahasa religius yang cocok untuk
mengungkapkan doa. Namun demikian, bahasa liturgi memiliki ciri khas, yaitu dijiwai
oleh Kitab Suci. Beberapa kata yang biasa dalam bahasa Latin biasa memiliki
arti baru dalam iman Kristen. Seperti kata-kata ecclesia, evangelium,
baptisma, dan eucharistia adalah ungkapan-ungkapan Kristen yang
dapat dialihkan dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Selain itu, para
penerjemah harus memperhatikan hubungan antara teks dan tindakan liturgis yang
bersangkutan. Mereka harus sadar akan kebutuhan komunikasi lisan dan peka
terhadap mutu sastra dari bahasa setempat yang hidup.
Penyesuaian
yang berikut adalah tentang Inisiasi Kristen. Walaupun ada perbedaan paham
tentang Inisiasi dalam berbagai kalangan bangsa tertentu, namun paham Inisiasi
Kristen dimengerti dengan tiga Sakremen yang mengantar katekumen ke persatuan
dengan Kristus dalam Gereja lewat Sakramen Baptis, Krisma, dan Ekaristi. Dalam
hal ini, Konferensi Waligereja harus menguji dengan saksama dan bijaksana,
unsur-unsur mana yang layak diambil dari tradisi dan ciri khas masing-masing
bangsa. Untuk tata cara Inisiasi di daerah misi, Konferensi harus memutuskan
apakah tata cara yang berlaku di kalangan bangsa yang bersangkutan dapat
disesuaikan untuk tata cara Inisiasi Kristen. Layak-tidaknya tata cara tersebut
ditentukan oleh Konferensi Waligereja yang bersangkutan. Setelah mendapat
persetujuan dari Takhta Suci, setiap Gereja setempat dan tarekat religius dapat
menambahkan perayaan-perayaannya sendiri pada perayaan-perayaan Gereja semesta.
Selain itu, dengan persetujuan Takhta Suci, Konferensi Waligereja dapat
menghapus beberapa hari pesta atau mengalihkannya ke suatu hari Minggu.
Refleksi dan Komentar atas Dokumen
Gereja
Dalam Realitas Kemajemukan
Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes
memulai dengan ungkapan bahwa kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan umat
manusia juga menjadi kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan Gereja. Dengan
itu mau dikatakan bahwa Gereja adalah bagian dari dunia dan tidak bisa lepas
serta menghindar darinya. Gereja ada dalam dunia, dalam masyarakatnya, dalam
adat-istiadat dan budayanya. Gereja bukan hanya milik orang-orang Yahudi,
orang-orang Romawi, dan orang-orang Timur Tengah atau Eropa. Gereja menyadari
diri bahwa dirinya bukan pusat dan segalanya, namun kawanan yang berada bersama
kawanan yang lain. Masyarakat dunia yang semakin plural semakin disadari oleh
dunia. Tidak hanya itu, disadarinya pula dengannya bahwa Gereja dipanggil untuk
diutus memberikan sumbangan dan perannya di dalam dan di tengah kehidupan dunia
sehingga dalam bahasa Injil dapat menjadi “garam dan ragi” bagi dunia kehidupan
bersama ini.
Gereja masa kini adalah gereja yang
semakin mendunia, dimana telah hadir imam-imam lokal sebagai soko guru utama Gereja
setempat, yang semakin menjadikan Gereja tidak lagi menjadi Gereja misi, namun Gereja
setempat. Gereja Katolik Indonesia misalnya, sudah sejak 1961 dinyatakan
sebagai Gereja mandiri dengan hirarki sendiri betapapun pada waktu itu baru
memiliki dua uskup pribumi. Namun sebagai Gereja muda, Gereja Katolik sudah
menunjukkan prospek dan wajah cerah, dalam gerak yang mencoba pula membangun
teologi serta cara menggereja yang sesuai dengan konteks Indonesia. Di sini, Gereja
Indonesia sedang berinkulturasi. Dampak dari inkulturasi yang dicipta oleh
Gereja Indonesia adalah bahwa Gereja semakin plural dan semakin menjadi Gereja
dunia. Di sisi lain, Gereja plural itu adalah Gereja setempat, Gereja yang
mencoba hidup dalam konteks setempat, hadir dan memberikan diri di tengah
kenyataan sebagai tanda dan wujud kesaksian imannya akan Kristus. Dengan kata
lain, Gereja setempat (Indonesia) sedang berinkulturasi.
Mengapa penting melaksanakan
inkulturasi? Mungkin pertanyaan inilah yang akan sering muncul ketika membahas
tentang usaha Gereja dalam menterjemahkan bahasa Injil ke dalam bahasa setempat
ini. Menjawab pertanyaan ini, penulis langsung teringat akan satu kata ini:
Kemajemukan. Kemajemukan bukan saja hanya fakta yang dialami oleh masyarkat,
melainkan kemendesakan. Penulis mengatakan kemendesakan karena realitas
kemajemukan merupakan sesuatu yang mendesak untuk disadari, direfleksikan serta
mendesak untuk menjadi bagian nyata dan hakiki dalam hidup Gereja. Maka menurut
hemat penulis, usaha untuk berinkulturasi adalah usaha yang dilakukan oleh Gereja
katolik dalam memandang kenyataan ini serta melihatnya sebagai tantangan
sekaligus panggilan Gereja.
Inkulturasi:
Menyatakan Iman di Tengah Budaya Zaman
Kebudayaan terkait erat dengan
agama, dengan dimensi Ilahi, bahkan kebudayaan sering mendapat pengaruh oleh
agama. Karena itu, penghargaan terhadap budaya juga mengandung penghargaan terhadap
agama. Melalui kebudayaannya, manusia bergulat di tengah segala arus dan
peristiwa yang ada untuk mencari kebenaran. Melalui budaya, pribadi manusia
membangun serta mewujudkan hakikat dirinya. Maka penulis boleh memberi
kesimpulan bahwa kebudayaan tidak bisa lepas dari iman dan dari agama. Memang
iman tidak identik dengan atau tergantung pada kebudayaan tertentu, namun iman
memberi inspirasi dan membentuk kebudayaan. Demikian juga dalam kuliah teologi
agama-agama yang sedang penulis ikuti, mengatakan bahwa dalam kebudayaan sudah
tertanam nilai-nilai yang disebut sebagai benih-benih sabda (semina verbi).
Maka sangat perlu dipelihara dan dihargai apa yang baik, benar, dan sehat dalam
tradisi kebudayaan.
Oleh karena keterikatan antara iman
dan budaya, Gereja senantiasa akan bertemu dengan budaya-budaya lain dan karena
itu terlibat dalam proses inkulturasi. Proses inkulturasi sangat diharapkan
mampu membawa perubahan tranformatif nilai-nilai asli budaya lewat integrasinya
dengan iman Katolik. Menurut hemat penulis, proses inkulturasi tersebut harus
berada dalam dua pihak: iman Katolik berintegrasi ke dalam budaya setempat, dan
budaya setempat berintegrasi ke dalam iman Katolik. Maka inkulturasi hendaknya
tidak menghilangkan unsur-unsur original dari iman Katolik dan unsur-unsur
original dalam budaya, melainkan keduanya saling meneguhkan dan mengukuhkan.
Kebudayaan berkaitan erat dengan
dimensi Ilahi sebab inti terdalam setiap kebudayaan adalah langkah pencariannya
akan misteri terbesar umat manusia, yakni misteri Allah. Oleh karena itu iman dan pewartaan Injil
berperan penting untuk menumbuhkembangkan budaya manusiawi. Lewat dan dalam
budayanya, manusia bergulat di tengah segala arus dan peristiwa yang ada untuk mencari
kebenaran, mewujudkan keberadaanya sebagai ciptaan Allah. Maka inkulturasi
tidak saja menjadi proses pewujudnyataan atau penghayatan iman dalam konteks
budaya setempat, tetapi juga merupakan proses penyingkapan misteri Ilahi dalam
ruang kehidupan manusia. Inkulturasi merupakan suatu langkah dan tindakan iman.
Sebagai
tindakan iman, inkulturasi tidak bisa dilepaskan dari misteri penjelmaan serta
penebusan Kristus, yang kedatangan-Nya memperbarui dunia kehidupan. Maka
menurut refleksi penulis, inkarnasi sendiri adalah dasar untuk melaksanakan
inkulturasi. Dengan berinkarnasi, Allah mengenakan kodrat manusia dalam diri
Yesus Kristus. Ia menjadi manusia dan memakai bahasa manusia untuk menyampaikan
pesan keselamatannya, dan dengan itu memperbarui hidup manusia. Demikian juga
hendaknya inkulturasi, yakni iman dan pewahyuan Injil harus berinkarnasi dalam
keberagaman budaya. Hal ini sungguh berdasar karena dalam tradisi kebudayaan
manusia, Allah mengerjakan karya keselamatan-Nya. Maka, mengenali karya
keselamatan Allah di dalam tradisi kebudayaan yang ada, berarti pula mengenali bagaimana
Yesus Kristus berkarya dalam mereka.
Oleh
karena itu, pertemuan antara iman dan kebudayaan bukanlah sekadar persoalan
antropologis belaka, namun pertemuan tersebut memiliki dasar teologis, yakni
dialog keselamatan antara Allah dengan umat manusia. Umat manusia dipanggil
Allah untuk ikut ambil bagian dalam rencana keselamatan Allah dalam diri Yesus
Kristus untuk mewujudkan Kerajaan Allah. Maka beriman kepada Yesus Kristus
tidak saja mengubah pribadi secara batiniah, namun juga memperbarui masyarakat
dan kebudayaannya. Beriman kepada Yesus Kristus juga akan melahirkan budaya
yang baru, yakni budaya kasih dan budaya keselamatan. Selain teologi
keselamatan, teologi Paskah juga menjadi dasar dari inkulturasi. Hal ini tampak
pada pengalaman Pentakosta, yakni ketika bahasa dan budaya yang berbeda-beda
disatukan karena sama-sama menerima pewartaan iman Allah dalam diri Yesus
Kristus berkat Roh Kudus.
Menurut
hemat penulis, inkulturasi juga merupakan bagian dari misi Gereja universal.
Misi yang penulis maksud disini ialah misi yang menjadikan Gereja berakar pada
budaya setempat dan membentuk paguyuban iman setempat berdasar kekayaan
kultural yang mereka miliki. Oleh karena itu, inkulturasi bukan hanya tugas
sekelompok orang atau lembaga Vatikan tertentu, melainkan tugas seluruh Gereja
(Umat Allah). Tujuan dari misi inkulturasi adalah supaya mereka mampu
menghayati imannya secara konkret dalam kehidupan mereka sehari-hari dan supaya
umat manusia dapat menggali nilai-nilai yang baik yang terkandung di dalam
budayanya. Dengan inkulturasi, umat manusia dapat menghayati imannya dengan
baik dan terlibat penuh dalam imannya tersebut serta menghidupinya secara lebih
jelas dalam cara hidup dan cara pandang budayanya.
Liturgi
adalah sumber dan puncak hidup serta perutusan umat Kristiani. Karena itu,
liturgi pun tidak bisa tidak membutuhkan suatu proses inkulturasi. Inkulturasi
dalam liturgi bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan. Inkulturasi dalam
liturgi harus memiliki dua kriteria dasar, yakni kesesuaian dengan Injil dan
kesatuan dengan Gereja universal. Maka sangat diperlukan kemampuan untuk
mempertimbangkan apa yang berguna dan perlu dan apa yang tidak berguna dan bahkan
membahayakan iman. Perlu adanya kerja sama yang terbuka dengan Vatikan, sebab
liturgi suci merupakan ungkapan dan perayaan iman yang satu bagi semua, yang
menjadi kekayaan seluruh Gereja. Maka tidak dibenarkan untuk melaksankan
inkulturasi sepihak oleh Gereja setempat, tetapi harus mendapat persetujuan oleh
pihak berwenang yang telah ditunjuk oleh Vatikan.
Tantangan
Inkulturasi
Penulis percaya penuh akan otoritas
yang berwenang dalam proses inkulturasi, yakni Tahkta Suci, dalam hal ini Kongregasi
Ibadat dan Tata Tertib Sakramen. Ketaatan kepada Paus dan pihak-pihak yang
berwenang tidak dapat ditawar-tawar sebab memang demikianlah iman Gereja
mengatakannya. Namun penulis melihat ada satu kelemahan atau tantangan yang
mungkin akan dihadapi oleh Gereja ketika hendak menjalankan proses inkulturasi.
Kelemahan yang penulis lihat ini berasal dari sebuah refleksi pribadi setelah
membaca dan mendalami dokumen dan bukan sebagai bentuk ketidaktaatan terhadap
otoritas tertinggi Gereja. Tantangan itu ialah: terjadinya miscommunication antara
Gereja lokal yang menjalani inkulturasi dengan pihak Roma.
“Proses
inkulturasi harus mempertahankan kesatuan hakiki dengan ritus Romawi (no.36). Penyesuaian-penyesuaian
ritus Romawi, juga dalam bidang inkulturasi, tergantung sepenuhnya pada
wewenang Gereja (Takhta Suci) (no.37).
Dengan
pernyataan di atas, penulis melihat ada kesan bahwa proses inkulturasi sebagai
proses sepihak dan monolog, dengan dominasi suara dari Roma, dan bukan dialog.
Padahal dengan menyadari bahwa Injil dan tradisi Kristiani pun memiliki muatan
kultural, maka inkulturasi senantiasa berarti suatu dialog budaya. Maka muncul
pertanyaan, apakah Vatikan sungguh memberi kepercayaan dan kebebasan kepada Gereja
lokal untuk melaksanakan inkulturasi? Apabila tidak diberi “kebebasan”, apakah
Vatikan mau menilai budaya lokal dengan perspektif budaya dan tradisi Eropa
(yang sudah lama dikenalnya)? Hal ini sesungguhnya tidak diinginkan terjadi.
Pertemuan kultural harus disadari bersama (baik pihak Vatikan dan Gereja lokal)
bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang terlepas dari konteks hidup. Iman
senantiasa harus diwujudnyatakan dalam konteks hidup setempat. Demikian bahwa
perlu juga disadari bahwa dunia dewasa ini ada dalam konteks kemajemukan, dan
kemajemukan tersebut menuntut adanya dialog. Vatikan dan Gereja lokal hendaknya
mampu melaksanakan dialog yang dapat menemukan titik terang, yakni inkulturasi
yang sehat.
Inkulturasi sebagai proses sudah
berjalan sejak awal Gereja, maka umurnya pun sudah setua umur Gereja sendiri. Proses
tersebut masih tetap berjalan, dan tidak akan pernah terhenti, sebab Gereja
masih harus menapaki dinamika hidup dan perutusannya, lengkap dengan segala
upaya untuk menjadikan imannya dinyatakan di tengah budaya zaman, agar iman
tersebut hidup dan berbicara di tengah realitas zaman yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar