1.
Tesis
Filsafat dan Teologi pada dasarnya adalah dua disiplin ilmu yang terpisah tetapi saling mendukung. Membuktikan eksistensi Allah dapat dicapai dengan pemikiran filosofis dan diterangi dengan pemikiran teologis. Sebagai filsuf dan teolog pada agamanya masing-masing, al-Farabi dan Thomas Aquinas berusaha membuktikan eksistensi Allah secara rasional agar dapat dicapai oleh akal budi. Di antara pemikiran mereka, ditemukan sejumlah persamaan konsep mengenai bukti-bukti keberadaan dan sifat-sifat Allah.
2.
Argumentasi
a)
Bukti Adanya Allah Menurut Thomas Aquinas dan Al-Farabi
Thomas memberikan
lima bukti untuk mengetahui Allah, yang ia sebut dengan Lima Jalan (Five
Ways). Bukti pertama adalah
gerakan (motion). Ia berpendapat bahwa manusia, mempunyai kepastian, bahwa dalam dunia, segala sesuatu berada dalam
gerakan. Apa pun yang
bergerak di dunia ini pasti digerakkan
oleh sesuatu yang lain. Jika ada sesuatu yang tidak bergerak, hal ini tidak akan pernah bergerak sampai sesuatu yang lain
menggerakkannya. Ketika sesuatu itu tidak bergerak, ini hanya soal potensi yang pada waktunya akan mempunyai gerakan.
Gerakan terjadi ketika sesuatu secara potensial dalam gerakan digerakkan dan selanjutnya
secara aktual dalam gerakan.[1] Potensialitas berarti ketidakhadiran dari sesuatu dan
karena itu tidak ada sesuatu. Ia menyatakan:
“Tidak ada yang dapat ditarik dari potensialitas kepada
aktualitas kecuali oleh sesuatu dalam keadaan
aktualitas”.[2] Sesuatu yang secara pontensial dalam gerakan tidak dapat menggerakkan dirinya sendiri dan apa pun yang digerakkan haruslah digerakkan oleh yang lain.
Karena itu, haruslah ada sebuah penggerak yang mampu
menggerakkan segala sesuatu, tetapi tidak mempunyai dalam dirinya untuk digerakkan, inilah yang dikatakan
Thomas, “orang memahaminya sebagai Allah”.[3]
Allah itu terbukti
ada, demikian kesimpulan al-Farabi. Bukti pertama yang dikemukanan al-Farabi
adalah adanya gerak, sama halnya seperti dijelaskan oleh Thomas. Kenyataan
bahwa di dunia ini ada benda-benda yang bergerak. Benda yang bergerak di dunia
ini pasti mendapat dorongan dari pendorong yang lain. Pendorong yang lain itu
pun mendapat dorongan dari pendorong yang lain lagi sampai pada akhirnya pasti
ada penggerak yang tidak digerakkan oleh penggerak yang lain, sebab tidak
mungkin ada seri penggerak yang tanpa batas. Di sinilah al-Farabi menemukan
bahwa penggerak yang tidak digerakkan oleh penggerak yang lain itu adalah
Allah.[4]
Bukti kedua bagi
Thomas adalah penyebab efisien (efficient cause).[5] Manusia
mengalami berbagai jenis akibat-akibat dan mengandaikan sebuah penyebabnya. Penyebab
efisien dari lukisan adalah pelukis (seniman). Jika pelukis disingkirkan,
maka lukisan yang dibuatnya tidak akan mempunyai
akibat. Tetapi, ada sebuah tatanan dari penyebab
efisien; orang tua dari si pelukis
adalah penyebab efisiennya. Singkatnya, ada tatanan
dalam penyebab efisien dapat
menyebabkan dalam sebuah seri-rangkaian. Sebagaimana sebuah seri dari penyebab
dituntut karena tak ada peristiwa dapat disebabkan oleh dirinya sendiri. Pelukis tidak dapat menyebabkan dirinya sendiri dan lukisan tidak dapat menyebabkan dirinya
sendiri. Sebuah penyebab ada sebelum
akibatnya. Setiap peristiwa menuntut pada penyebab sebelumnya. Tetapi, mustahillah untuk menelusur ke belakang tanpa
batas, karena seluruh
penyebab berada
dalam seri-rangkaian bergantung pada penyebab efesien
sebelumnya yang telah membuat
seluruh penyebab lain menyebabkan secara aktual. Karena itu, harus ada penyebab efisien pertama,
yang biasa orang-orang menyebutnya
sebagai Allah.[6]
Bagi al-Farabi,
teori kausalitas juga dapat memberi bukti bahwa tidak mungkin memikirkan suatu
rentetan seri sebab sampai penyebab yang tidak terbatas, dan pastilah ada
penyebab yang tidak disebabkan oleh yang lain, yakni Allah. Yang Pertama (al-awwal)
atau Sebab Pertama tersebut, dalam persfektif teologi Islam adalah Allah Swt.
Sebab Pertama ini, menurut al-Farabi adalah wujud niscaya, tidak terkira
kemuliaannya, tidak punya hubungannya dengan wujud-wujud yang lain.[7]
Bukti yang ketiga yang dikemukakan Thomas adalah ada yang diperlukan
(necessary being). Dalam hidup, manusia
menemukan bahwa segala sesuatu itu mungkin ada dan mungkin tidak. Segala sesuatu itu mungkin (contingent) karena
mereka tidak selalu bereksistensi; segala
sesuatu diwariskan dan akan terhancurkan. Karena itu semua yang ada itu mungkin,
pada suatu ketika tidak
bereksistensi, akan bereksistensi, dan akhirnya tidak bereksistensi lagi. Thomas memberikan argumen bahwa segala
sesuatu yang mungkin tidak memiliki keberadaan mereka
dalam dirinya sendiri, atau
dari esensinya sendiri; dan jika
segala sesuatu dalam kenyataannya hanyalah
bersifat mungkin, yaitu jika setiap hal, manusia dapat mengatakan bahwa tidak dapat mengada “sebelum ada dan setelah
ada” dan pada suatu ketika
hilang keberadaannya. Thomas menyimpulkan
dari pernyataannya bahwa “haruslah
ada sesuatu yang bereksistensi yang darinya
perlu untuk eksistensi yang lain”. Dengan kata lain, eksistensi dari
segala hal yang ada mempunyai dari dalam dirinya keperluan dan tidak menerima
dari ada yang lain, tetapi
lebih menyebabkan dengan
yang lainnya, keperluan ini. Orang-orang
menyebutnya sebagai Allah.[8]
Dalam
metafisikanya, al-Farabi telah menjelaskan konsep Ada. Dia membagi Ada menjadi
dua, yaitu Ada Mutlak dan ada Tergantung (contingent). Ada yang mutlak
ialah ada yang ada di dalam dirinya sendiri atau yang keberadaannya tidak
mungkin tidak ada, ketidakadaannya adalah sesuatu yang tidak bisa dipikirkan.[9] Al-Farabi menyimpulkan ada ini adalah Allah.
Sementara ada yang lain adalah ada selain ada yang mutlak ada itu. Ada ini
adalah ada yang keberadaannya diterima atau didapatkan dari ada yang lain, ia
tergantung pada ada yang lain. Ia tidak ada dari dirinya sendiri, ia tergantung
(contingent). Ia ada tetapi tidak harus ada. Ketidakberadaannya bisa
dipikirkan dan mungkin. Ada itu adalah alam semesta ini.[10]
Thomas
kemudian memberikan bukti yang keempat didasarkan pada tingkat-tingkat
kesempurnaan yang dapat dilihat
dalam segala sesuatu. Dalam
pengalaman, manusia menemukan bahwa segala sesuatu mempunyai tingkatan: kurang, lebih, dan paling baik, atau benar,
atau luhur. Tetapi, ini semua dan cara-cara membandingkan segala sesuatu itu hanya mungkin karena segala sesuatu itu mirip dalam sesuatu cara-cara
yang berbeda, yaitu sesuatu
yang bersifat maksimum.
Harus ada sesuatu
yang berciri paling baik, paling benar, dan paling luhur.
Hal yang sama dapat dikatakan
tentang segala
sesuatu bahwa semua mempunyai tingkat lebih atau kurang sebagaimana batu dibandingkan dengan ciptaan
yang rasional. Dengan
demikian, haruslah ditemukan “sesuatu yang paling sempurna dalam tingkatan ada”.[11] Karena itu, Thomas menyimpulkan
bahwa “harus ada sesuatu yang menjadi bagi segala sesuatu
penyebab dari keberadaan,
kebaikan, dan kesempurnaan yang kemudian disebut Allah.[12]
Bagi al-Farabi,
konsep yang sama dengan pemikiran Thomas ini adalah ketika al-Farabi berusaha
menjelaskan teori emanasi. Menurut al-Farabi, keseluruhan realitas dunia ini,
baik spiritual maupun material, mengalir dari Yang Pertama atau Sebab Pertama
lewat pancaran (faidh), selayaknya seberkas sinar keluar dari matahari
atau panas muncul dari api. Kehadiran realitas secara emanasi ini melahirkan
wujud-wujud secara berurutan dan berjenjang. Maksudnya, wujud-wujud yang muncul
tersebut tidak berada pada derajat yang sama melainkan bertingkat-tingkat
secara hirarkis. Hirarki wujud yang pertama dan dekat dengan Sebab Pertama
dianggap lebih mulia dibanding wujud-wujud yang baru muncul kemudian, dan
begitu seterusnya. Oleh karena itu, semakin jauh dari Sebab Pertama berarti
semakin rendah nilai dan posisinya.[13] Dan bagi al-Farabi, Sebab Pertama yang paling
sempurna inilah disebut Allah.
Akhirnya, Thomas memikirkan bukti kelima akan adanya Allah yang didasarkan pada tatanan. Tatanan ini dapat dilihat dalam dunia. Segala
sesuatu tampak seperti bagian-bagian dari dunia,
atau bagian-bagian dari tubuh manusia, yang tidak memiliki
intelegensi, tetapi
meskipun demikian beraktivitas dalam hukum yang tertata.[14] Dunia dan tubuh dengan
bagiannya beraktivitas dalam cara-cara yang partikular dan
dapat diramalkan untuk mencapai tujuan dan fungsi
tertentu. Tetapi, segala sesuatu tidak
memiliki hubungan langsung dengan intelegensi seperti
telinga, paru-paru tidak dapat melakukan fungsinya jika tidak diarahkan oleh sesuatu yang sungguh-sungguh
berintelegensi. Ini seperti sebuah panah yang
diarahkan oleh pemanah. Thomas menyimpulkan
bahwa “ada yang berintelegensi” bereksistensi oleh segala sesuatu yang alamiah
yang diarahkan pada tujuan mereka. Ada ini disebut sebagai Allah”.[15]
Bagi al-Farabi,
tatanan yang teratur dapat ditemukan dalam pemikirannya tentang bentuk dan
sifat realitas. Ia mengatakan bahwa
realitas yang ada ini, dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu wujud-wujud
spiritual dan wujud-wujud material. Wujud-wujud spiritual merupakan realitas
non-materi dan hal itu terdiri atas enam tingkatan. Tingkat pertama adalah
Allah Swt. Allah sebagai Sebab Pertama yang dari-Nya muncul intelek pertama
penggerak langit pertama. Setelah itu, tingkat pertama diikuti oleh
intelek-intelek terpisah yang terdiri atas sembilan intelek. Intelek-intelek
ini dimulai dari intelek pertama sebagai penggerak langit pertama hingga
intelek kesembilan penggerak planet bulan. Intelek-intelek ini berada pada
tingkat kedua dan sepenuhnya berupa malaikat langit. Kemudian disusul pada tingkat
ketiga yang merupakan intelek aktif. Realitas alam atas dan bawah, realitas
spiritual dan realitas material dihubungkan oleh intelek aktif ini. Lalu jiwa
manusia berada di tingkat keempat, serta bentuk dan materi masing-masing berada
di tingkat kelima dan keenam. Adapun realitas-realitas material terdiri atas
enam tingkat: benda-benda langit, jasad manusia, binatang, tumbuhan, mineral,
dan unsur-unsur pembentuk yang terdiri atas empat unsur, yaitu udara, air, api,
dan tanah.[16] Tatanan realitas yang yang sangat teratur ini adalah
satu bukti bagi al-Farabi bahwa Allah sungguh bereksistensi dengan hadir
sebagai realitas non-materi tingkat pertama.
b)
Pengetahuan tentang Hakikat Allah dan Sifat-sifat-Nya
Kelima bukti tentang keberadaan Allah
menurut Thomas memberikan sesuatu terkait pemikiran
tentang Allah.
Dalam Penggerak Pertama,
Allah dipandang sebagai yang tidak
berubah dan karena
itu, abadi. Dalam Penyebab Pertama,
Allah dipandang sebagai mahakuasa dalam menciptakan alam semesta. Selanjutnya, Allah sebagai
ada yang mutlak
lebih daripada sebagai ada yang
mungkin; Allah itu aktualitas murni.
Sebagai kebenaran dan kebaikan terakhir, Allah itu sempurna dalam diri-Nya sendiri. Dan sebagai perancang Alam semesta, Allah mempunyai
inteligensi yang mampu menata
segala sesuatu dalam alam semesta.
Untuk
mengetahui Allah, Thomas juga memberikan satu cara, yakni yang ia sebut dengan via
negativa. Meskipun lima bukti memberikan
informasi tentang Allah, kelimanya hanya
berkatian dengan pengetahuan tidak
langsung akan Allah;
bukan pengetahuan
langsung akan Allah. Berurusan dengan Allah hanya dalam
jalan negatif yaitu mengetahui Allah dengan
jalan memberikan negasi kepada-Nya.[17] Kelima bukti menunjukkan hanya bahwa Allah itu “tidak memilik penggerak”
(unmoved) dan karena
itu, Allah itu “tak berubah”
(unchangeable). Ini
berarti bahwa Allah tidak berada dalam waktu dan karenanya, Ia abadi. Allah itu bersifat murni dan immaterial. Karena,
tidak ada materi dan juga potensialitas dalam Allah, Ia adalah ada yang sederhana, tanpa
komposisi. Ide tentang kesederhanaan Allah (God’s simplicity) dicapai tidak melalui pemahaman langsung, tetapi melalui “jalan negasi” (via negativa).
Secara filosofis, kesederhanaan Allah berarti bahwa
Allah tidak seperti
ciptaan yang memiliki baik pontensialitas maupun
aktualitas, Allah itu tindakan murni
yang sederhana (simply
pure act).[18]
Bagi al-Farabi,
Allah atau Tuhan itu adalah penyebab pertama yang berarti bahwa Allah adalah
Aktual yang sungguh murni yang tidak tercampur dengan potensi. Potensi adalah
kemampuan untuk berada. Jadi dia sebelumnya hanya suatu kemampuan. Segala
sesuatu yang berubah adalah selalu dalam potensialitas. Semua benda pada awalnya
hanya bersifat potensial dan mustahil apabila ada benda yang muncul secara
aktual sejak dari sebelumnya.[19] Benda tersebut pada mulanya hanya ada secara
potensial dalam zat diri Tuhan atau materi pertama universal. Dalam Allah tak
ada potensialitas, sebab dalam Dia hanya ada aktus murni. Aktus adalah sesuatu
yang ada dalam kenyataan. Ada yang berada dalam kenyataan ini, menurut
al-Farabi adalah sempurna, sedangkan potensi itu tidak sempurna. Oleh
al-Farabi, hanya Allah saja yang sungguh-sungguh aktual ada. Dengan demikian
tak ada perubahan dalam diri Allah. Karena itu Allah tidak bergerak.[20]
Bagi al-Farabi,
Allah itu adalah adalah Esa. Apabila ada dua Allah, maka akan ada sebagian
kemiripan dan sebagian perbedaan yang satu dengan yang lain, dengan demikian
simpilisitas masing-masing akan merupakan hal yang mustahil. Apabila ada
sesuatu yang sama dengan Allah, maka Ia akan gagal memiliki kepenuhan ada,
sebab kepenuhan berarti hal yang tidak mungkin untuk ada selain diri-Nya. Jika
Allah memiliki kepenuhan ada, yakni absolut dan takterbatas, maka tak mungkin
bisa dimengerti akan adanya yang seperti Dia selain Dia. Kalau demikian maka
hanya ada satu Ada yang tak terbatas, jadi hanya ada satu Allah. Allah atau
Tuhan itu Esa sebab Ia bebas dari segala pembagian unsur-unsur. Esa dalam diri
Allah berarti Ia tak terbagi, Dia yang tak terbagi dalam substansi, adalah juga
satu dalam esensi. Dengan demikian hanya ada satu Allah saja.[21]
Pengetahuan
tentang Allah tidak bisa lepas dari teori metafisika al-Farabi tentang esensi
dan eksistensi. Esensi adalah alasan mengapa sesuatu itu berada dan apakah
sesuatu itu. Sedangkan eksistensi adalah aktualitas dari esensi.[22] Keduanya memiliki perbedaan. Di dalam ciptaan, dapat
ditemukan bahwa esensi tidak harus mencakup eksistensi sesuatu itu, sebab dalam
kasus itu ada kemungkinan memikirkan esensinya tanpa mengetahui apakah sesuatu
itu ada atau tidak. Hanya ada satu saja yang esensinya adalah eksistensinya
yaitu Allah sendiri. Pemisahan yang logis yang terdapat pada ciptaan dijadikan
alasan al-Farabi untuk membedakan antara adaan dan Ada. Ada atau Tuhan adalah
yang ada dalam diri-Nya sendiri dan yang mutlak ada, Dia adalah murni Aktual
dan Sempurna. Karena di dalam diri-Nya tidak ada dualism antara esensi dan eksistensi-Nya,
maka al-Farabi mengatakan bahwa itu merupakan bukti bahwa Allah itu Esa dan
Tunggal.[23]
3.
Kritik dan Relevansi
Penulis memiliki
alasan untuk memilih kedua tokoh ini dalam menjelaskan keberadaan Allah dan
sifat-sifat-Nya. Alasan tersebut adalah bahwa al-Farabi merupakan filsuf muslim
yang membuka jalan bagi filsuf muslim lainnya, termasuk filsuf muslim yang
sangat terkenal, Ibn Sina. Ibn Sina mencapai kedudukan yang sangat terhormat
dalam filsafat Islam karena mengadopsi sistem filsafat al-Farabi. Dalam banyak
buah pemikirannya, Ibn Sina justru hanya mengulangi argumentasi al-Farabi.
Penulis memilih Thomas Aquinas, karena tidak dapat diragukan lagi bahwa ia
adalah filsuf dan teolog paling besar dalam abad Pertengahan. Thomas adalah
adalah filsuf Kristen yang berhutang budi pada al-Farabi dan filsuf Muslim
lainnya dalam mengembangkan sistem filsafatnya. Terutama dalam pengetahuan akan
Allah, Thomas banyak mengadopsi buah pemikiran al-Farabi.
Pada studi pustaka
dan melalui uraian di atas, penulis menemukan bahwa kedua tokoh memiliki konsep
metafisika yang hampir sama. Thomas memberikan bukti-bukti keberadaan Allah
dengan sebutan Lima Jalan (Five Ways). Kelima bukti yang dikemukakan
oleh Thomas ini ternyata sudah pernah disebutkan oleh al-Farabi dalam
metafisika teologisnya. Maka sebagai filsuf yang berutang budi pada al-Farabi,
dapat disebutkan bahwa Thomas mendapat pengaruh dari al-Farabi untuk memberikan
bukti-bukti dan sifat-sifat Allah. Maka dalam uraian di atas, penulis dengan
sengaja membuat penjelasan tentang Thomas sebagai pembuka dan kemudian diikuti
oleh pemikiran al-Farabi. Hal ini dibuat untuk menemukan letak kesamaan dan
pengaruh pemikian al-Farabi dalam pemikiran Thomas.
Uraian di atas
menjadi sangat relevan bagi penulis dan bagi banyak orang yang sering meragukan
keberadaan Allah. Ketidaktampakan Allah dalam bentuk wujud material menjadi
alasan bagi sejumlah orang untuk tidak meyakini akan adanya Allah. Bagi
penulis, Allah memang masih misteri. Allah itu sekaligus bisa diketahui dan
bisa tidak diketahui. Allah itu sekaligus jelas dan sekaligus tersembunyi. Hal
ini sangat wajar karena manusia memiliki keterbatasan akal, sehingga sangat
sulit untuk mengetahui siapakah Allah itu. Allah adalah pencipta yang
keberadaan dan cara-cara-Nya tidak pernah bisa diduga. Oleh karena itu, penulis
hendak mengutip surat Rasul Paulus kepada umat di Roma, sebagai relevansi iman
penulis dalam mengembangkan tulisan ini, “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat
dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan
sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran
Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? … Sebab segala sesuatu
adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai
selama-lamanya!” (Rm 11:33-36).
DAFTAR PUSTAKA
Copleston, Frederick. A History of Philosophy
Volume II: Medieval Philosophy. New York: Double Day, 1993.
Davies, Brian. Thomas Aquinas's Summa Contra
Gentiles: A Guide and Commentary. New York: Oxford University Press, 2016.
Fakhry, Majid. Al-Farabi, Founder
of Islamic Neoplatonism: His Life, Works and Influence. England: One World
Publications, 2002.
Jackson, Roy. What is Islamic
Philosophy? London: Routledge, 2014.
Kenny, Anthony. Studies
in Ethics and the Philosophy of Religion Volume V: the Five Ways St. Thomas
Aquinas’ Proofs of God’s Existence. New York: Routledge. 2003.
Reisman., Jon McGinnis and David C. Classical
Arabic Philosophy: An Anthology of Sources. Indianapolis: Hackett
Publishing Company, 2007.
Soleh, H. A. Khudori. Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016.
[1] Frederick
Copleston, A History of philosophy Volume II, (New York: Image Books
DoubleDay, 1993), hlm. 337.
[2] Brian
Davies, Thomas Aquinas’s Summa Contra Gentiles: A Guide and Commentary, (New
York: Oxford University Press, 2016), hlm. 38.
[3] Anthony
Kenny, “The Five Ways: St. Thomas Aquinas’ Proofs of God’s Existence”, dalam D.
Z. Philips (ed.), Studies in Ethics and Philosophy of Religion (New
York: Routledge, 2003), hlm. 7.
[4] Majid
Fakhry, Al-Farabi, Founder of Islamic Neoplatonism: His Life, Works and
Influence, (England: Oneworld Publications, 2002), hlm. 79.
[5] Brian
Davies, Thomas Aquinas’s…, hlm. 53-54.
[6] Anthony Kenny,
“The Five Ways…, hlm. 42.
[7] A. Khudori
Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2016), hlm. 98.
[8] Anthony
Kenny, “The Five Ways…, hlm. 55.
[9] Jon McGinnis and David C. Reisman,
Classical Arabic Philosophy: An Anthology of Sources, (Indianapolis:
Hackett Publishing Companya, 2007), hlm. 81-82.
[10] Roy
Jackson, What is Islamic Philosophy, (Oxon: Routledge, 2014), hlm. 44.
[11] Brian
Davies, Thomas Aquinas’s…, hlm. 45.
[12] Anthony
Kenny, “The Five Ways…, hlm. 87.
[13] A. Khudori
Soleh, Filsafat Islam…, hlm. 97-98.
[14] Brian
Davies, Thomas Aquinas’s…, hlm. 45.
[15] Anthony
Kenny, “The Five Ways…, hlm. 112.
[16] A. Khudori
Soleh, Filsafat Islam…, hlm. 93-94.
[17] Frederick
Copleston, A History…, hlm. 348-349.
[18] Brian
Davies, Thomas Aquinas’s…, hlm. 60.
[19] Roy
Jackson, What is…, hlm. 47.
[20] A. Khudori
Soleh, Filsafat Islam…, hlm. 95.
[21] A. Khudori
Soleh, Filsafat Islam…, hlm. 98.
[22] Jon McGinnis and David C. Reisman,
Classical…, hlm. 79.
[23] A. Khudori
Soleh, Filsafat Islam…, hlm. 98.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar