Minggu, 19 Desember 2021

Perbandingan Konsep Allah Menurut St. Thomas Aquinas dan Al-Farabi


1.   Tesis

Filsafat dan Teologi pada dasarnya adalah dua disiplin ilmu yang terpisah tetapi saling mendukung. Membuktikan eksistensi Allah dapat dicapai dengan pemikiran filosofis dan diterangi dengan pemikiran teologis. Sebagai filsuf dan teolog pada agamanya masing-masing, al-Farabi dan Thomas Aquinas berusaha membuktikan eksistensi Allah secara rasional agar dapat dicapai oleh akal budi. Di antara pemikiran mereka, ditemukan sejumlah persamaan konsep mengenai bukti-bukti keberadaan dan sifat-sifat Allah. 

2.   Argumentasi

a)   Bukti Adanya Allah Menurut Thomas Aquinas dan Al-Farabi

Thomas memberikan lima bukti untuk mengetahui Allah, yang ia sebut dengan Lima Jalan (Five Ways). Bukti pertama adalah gerakan (motion). Ia berpendapat bahwa manusia, mempunyai kepastian, bahwa dalam dunia, segala sesuatu berada dalam gerakan. Apa pun yang bergerak di dunia ini pasti digerakkan oleh sesuatu yang lain. Jika ada sesuatu yang tidak bergerak, hal ini tidak akan pernah bergerak sampai sesuatu yang lain menggerakkannya. Ketika sesuatu itu tidak bergerak, ini hanya soal potensi yang pada waktunya akan mempunyai gerakan. Gerakan terjadi ketika sesuatu secara potensial dalam gerakan digerakkan dan selanjutnya secara aktual dalam gerakan.[1] Potensialitas berarti ketidakhadiran dari sesuatu dan karena itu tidak ada sesuatu. Ia menyatakan: “Tidak ada yang dapat ditarik dari potensialitas kepada aktualitas kecuali oleh sesuatu dalam keadaan aktualitas”.[2] Sesuatu yang secara pontensial dalam gerakan tidak dapat menggerakkan dirinya sendiri dan apa pun yang digerakkan haruslah digerakkan oleh yang lain. Karena itu, haruslah ada sebuah penggerak yang mampu menggerakkan segala sesuatu, tetapi tidak mempunyai dalam dirinya untuk digerakkan, inilah yang dikatakan Thomas, “orang memahaminya sebagai Allah”.[3]

Allah itu terbukti ada, demikian kesimpulan al-Farabi. Bukti pertama yang dikemukanan al-Farabi adalah adanya gerak, sama halnya seperti dijelaskan oleh Thomas. Kenyataan bahwa di dunia ini ada benda-benda yang bergerak. Benda yang bergerak di dunia ini pasti mendapat dorongan dari pendorong yang lain. Pendorong yang lain itu pun mendapat dorongan dari pendorong yang lain lagi sampai pada akhirnya pasti ada penggerak yang tidak digerakkan oleh penggerak yang lain, sebab tidak mungkin ada seri penggerak yang tanpa batas. Di sinilah al-Farabi menemukan bahwa penggerak yang tidak digerakkan oleh penggerak yang lain itu adalah Allah.[4]

Bukti kedua bagi Thomas adalah penyebab efisien (efficient cause).[5] Manusia mengalami berbagai jenis akibat-akibat dan mengandaikan sebuah penyebabnya. Penyebab efisien dari lukisan adalah pelukis (seniman). Jika pelukis disingkirkan, maka lukisan yang dibuatnya tidak akan mempunyai akibat. Tetapi, ada sebuah tatanan dari penyebab efisien; orang tua dari si pelukis adalah penyebab efisiennya. Singkatnya, ada tatanan dalam penyebab efisien dapat menyebabkan dalam sebuah seri-rangkaian. Sebagaimana sebuah seri dari penyebab dituntut karena tak ada peristiwa dapat disebabkan oleh dirinya sendiri. Pelukis tidak dapat menyebabkan dirinya sendiri dan lukisan tidak dapat menyebabkan dirinya sendiri. Sebuah penyebab ada sebelum akibatnya. Setiap peristiwa menuntut pada penyebab sebelumnya. Tetapi, mustahillah untuk menelusur ke belakang tanpa batas, karena seluruh penyebab berada dalam seri-rangkaian bergantung pada penyebab efesien sebelumnya yang telah membuat seluruh penyebab lain menyebabkan secara aktual.  Karena itu, harus ada penyebab efisien pertama, yang biasa orang-orang menyebutnya sebagai Allah.[6]

Bagi al-Farabi, teori kausalitas juga dapat memberi bukti bahwa tidak mungkin memikirkan suatu rentetan seri sebab sampai penyebab yang tidak terbatas, dan pastilah ada penyebab yang tidak disebabkan oleh yang lain, yakni Allah. Yang Pertama (al-awwal) atau Sebab Pertama tersebut, dalam persfektif teologi Islam adalah Allah Swt. Sebab Pertama ini, menurut al-Farabi adalah wujud niscaya, tidak terkira kemuliaannya, tidak punya hubungannya dengan wujud-wujud yang lain.[7]

Bukti yang ketiga yang dikemukakan Thomas adalah ada yang diperlukan (necessary being).  Dalam hidup, manusia menemukan bahwa segala sesuatu itu mungkin ada dan mungkin tidak.  Segala sesuatu itu mungkin (contingent) karena mereka tidak selalu bereksistensi; segala sesuatu diwariskan dan akan terhancurkan. Karena itu semua yang ada itu mungkin, pada suatu ketika tidak bereksistensi, akan bereksistensi, dan akhirnya tidak bereksistensi lagi. Thomas memberikan argumen bahwa segala sesuatu yang mungkin tidak memiliki keberadaan mereka dalam dirinya sendiri, atau dari esensinya sendiri; dan jika segala sesuatu dalam kenyataannya hanyalah bersifat mungkin, yaitu jika setiap hal, manusia dapat mengatakan bahwa tidak dapat mengada “sebelum ada dan setelah ada” dan pada suatu ketika hilang keberadaannya. Thomas menyimpulkan dari pernyataannya bahwa “haruslah ada sesuatu yang bereksistensi yang darinya perlu untuk eksistensi yang lain”. Dengan kata lain, eksistensi dari segala hal yang ada mempunyai dari dalam dirinya keperluan dan tidak menerima dari ada yang lain, tetapi lebih menyebabkan dengan yang lainnya, keperluan ini. Orang-orang menyebutnya sebagai Allah.[8]

Dalam metafisikanya, al-Farabi telah menjelaskan konsep Ada. Dia membagi Ada menjadi dua, yaitu Ada Mutlak dan ada Tergantung (contingent). Ada yang mutlak ialah ada yang ada di dalam dirinya sendiri atau yang keberadaannya tidak mungkin tidak ada, ketidakadaannya adalah sesuatu yang tidak bisa dipikirkan.[9] Al-Farabi menyimpulkan ada ini adalah Allah. Sementara ada yang lain adalah ada selain ada yang mutlak ada itu. Ada ini adalah ada yang keberadaannya diterima atau didapatkan dari ada yang lain, ia tergantung pada ada yang lain. Ia tidak ada dari dirinya sendiri, ia tergantung (contingent). Ia ada tetapi tidak harus ada. Ketidakberadaannya bisa dipikirkan dan mungkin. Ada itu adalah alam semesta ini.[10]

Thomas kemudian memberikan bukti yang keempat didasarkan pada tingkat-tingkat kesempurnaan yang dapat dilihat dalam segala sesuatu. Dalam pengalaman, manusia menemukan bahwa segala sesuatu mempunyai tingkatan:  kurang, lebih, dan paling baik, atau benar, atau luhur.  Tetapi, ini semua dan cara-cara membandingkan segala sesuatu itu hanya mungkin karena segala sesuatu itu mirip dalam sesuatu cara-cara yang berbeda, yaitu sesuatu yang bersifat maksimum.  Harus ada sesuatu yang berciri paling baik, paling benar, dan paling luhur. Hal yang sama dapat dikatakan tentang segala sesuatu bahwa semua mempunyai tingkat lebih atau kurang sebagaimana batu dibandingkan dengan ciptaan yang rasional. Dengan demikian, haruslah ditemukan “sesuatu yang paling sempurna dalam tingkatan ada”.[11] Karena itu, Thomas menyimpulkan bahwa “harus ada sesuatu yang menjadi bagi segala sesuatu penyebab dari keberadaan, kebaikan, dan kesempurnaan yang kemudian disebut Allah.[12]

Bagi al-Farabi, konsep yang sama dengan pemikiran Thomas ini adalah ketika al-Farabi berusaha menjelaskan teori emanasi. Menurut al-Farabi, keseluruhan realitas dunia ini, baik spiritual maupun material, mengalir dari Yang Pertama atau Sebab Pertama lewat pancaran (faidh), selayaknya seberkas sinar keluar dari matahari atau panas muncul dari api. Kehadiran realitas secara emanasi ini melahirkan wujud-wujud secara berurutan dan berjenjang. Maksudnya, wujud-wujud yang muncul tersebut tidak berada pada derajat yang sama melainkan bertingkat-tingkat secara hirarkis. Hirarki wujud yang pertama dan dekat dengan Sebab Pertama dianggap lebih mulia dibanding wujud-wujud yang baru muncul kemudian, dan begitu seterusnya. Oleh karena itu, semakin jauh dari Sebab Pertama berarti semakin rendah nilai dan posisinya.[13] Dan bagi al-Farabi, Sebab Pertama yang paling sempurna inilah disebut Allah.

Akhirnya, Thomas memikirkan bukti kelima akan adanya Allah yang didasarkan pada tatanan. Tatanan ini dapat dilihat dalam dunia. Segala sesuatu tampak seperti bagian-bagian dari dunia, atau bagian-bagian dari tubuh manusia, yang tidak memiliki intelegensi, tetapi meskipun demikian beraktivitas dalam hukum yang tertata.[14]  Dunia dan tubuh dengan bagiannya beraktivitas dalam cara-cara yang partikular dan dapat diramalkan untuk mencapai tujuan dan fungsi tertentu. Tetapi, segala sesuatu tidak memiliki hubungan langsung dengan intelegensi seperti telinga, paru-paru tidak dapat melakukan fungsinya jika tidak diarahkan oleh sesuatu yang sungguh-sungguh berintelegensi. Ini seperti sebuah panah yang diarahkan oleh pemanah. Thomas menyimpulkan bahwa “ada yang berintelegensi” bereksistensi oleh segala sesuatu yang alamiah yang diarahkan pada tujuan mereka. Ada ini disebut sebagai Allah”.[15]  

Bagi al-Farabi, tatanan yang teratur dapat ditemukan dalam pemikirannya tentang bentuk dan sifat realitas.  Ia mengatakan bahwa realitas yang ada ini, dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu wujud-wujud spiritual dan wujud-wujud material. Wujud-wujud spiritual merupakan realitas non-materi dan hal itu terdiri atas enam tingkatan. Tingkat pertama adalah Allah Swt. Allah sebagai Sebab Pertama yang dari-Nya muncul intelek pertama penggerak langit pertama. Setelah itu, tingkat pertama diikuti oleh intelek-intelek terpisah yang terdiri atas sembilan intelek. Intelek-intelek ini dimulai dari intelek pertama sebagai penggerak langit pertama hingga intelek kesembilan penggerak planet bulan. Intelek-intelek ini berada pada tingkat kedua dan sepenuhnya berupa malaikat langit. Kemudian disusul pada tingkat ketiga yang merupakan intelek aktif. Realitas alam atas dan bawah, realitas spiritual dan realitas material dihubungkan oleh intelek aktif ini. Lalu jiwa manusia berada di tingkat keempat, serta bentuk dan materi masing-masing berada di tingkat kelima dan keenam. Adapun realitas-realitas material terdiri atas enam tingkat: benda-benda langit, jasad manusia, binatang, tumbuhan, mineral, dan unsur-unsur pembentuk yang terdiri atas empat unsur, yaitu udara, air, api, dan tanah.[16] Tatanan realitas yang yang sangat teratur ini adalah satu bukti bagi al-Farabi bahwa Allah sungguh bereksistensi dengan hadir sebagai realitas non-materi tingkat pertama. 

b)  Pengetahuan tentang Hakikat Allah dan Sifat-sifat-Nya

Kelima bukti tentang keberadaan Allah menurut Thomas memberikan sesuatu terkait pemikiran tentang Allah. Dalam Penggerak Pertama, Allah dipandang sebagai yang tidak berubah dan karena itu, abadi.  Dalam Penyebab Pertama, Allah dipandang sebagai mahakuasa dalam menciptakan alam semesta. Selanjutnya, Allah sebagai ada yang mutlak lebih daripada sebagai ada yang mungkin; Allah itu aktualitas murni. Sebagai kebenaran dan kebaikan terakhir, Allah itu sempurna dalam diri-Nya sendiri. Dan sebagai perancang Alam semesta, Allah mempunyai inteligensi yang mampu menata segala sesuatu dalam alam semesta. 

Untuk mengetahui Allah, Thomas juga memberikan satu cara, yakni yang ia sebut dengan via negativa. Meskipun lima bukti memberikan informasi tentang Allah, kelimanya hanya berkatian dengan pengetahuan tidak langsung akan Allah; bukan pengetahuan langsung akan Allah. Berurusan dengan Allah hanya dalam jalan negatif yaitu mengetahui Allah dengan jalan memberikan negasi kepada-Nya.[17] Kelima bukti menunjukkan hanya bahwa Allah itu “tidak memilik penggerak” (unmoved) dan karena itu, Allah itu “tak berubah” (unchangeable).  Ini berarti bahwa Allah tidak berada dalam waktu dan karenanya, Ia abadi. Allah itu bersifat murni dan immaterial. Karena, tidak ada materi dan juga potensialitas dalam Allah, Ia adalah ada yang sederhana, tanpa komposisi.  Ide tentang kesederhanaan Allah (God’s simplicity) dicapai tidak melalui pemahaman langsung, tetapi melalui “jalan negasi” (via negativa). Secara filosofis, kesederhanaan Allah berarti bahwa Allah tidak seperti ciptaan yang memiliki baik pontensialitas maupun aktualitas, Allah itu tindakan murni yang sederhana (simply pure act).[18]

Bagi al-Farabi, Allah atau Tuhan itu adalah penyebab pertama yang berarti bahwa Allah adalah Aktual yang sungguh murni yang tidak tercampur dengan potensi. Potensi adalah kemampuan untuk berada. Jadi dia sebelumnya hanya suatu kemampuan. Segala sesuatu yang berubah adalah selalu dalam potensialitas. Semua benda pada awalnya hanya bersifat potensial dan mustahil apabila ada benda yang muncul secara aktual sejak dari sebelumnya.[19] Benda tersebut pada mulanya hanya ada secara potensial dalam zat diri Tuhan atau materi pertama universal. Dalam Allah tak ada potensialitas, sebab dalam Dia hanya ada aktus murni. Aktus adalah sesuatu yang ada dalam kenyataan. Ada yang berada dalam kenyataan ini, menurut al-Farabi adalah sempurna, sedangkan potensi itu tidak sempurna. Oleh al-Farabi, hanya Allah saja yang sungguh-sungguh aktual ada. Dengan demikian tak ada perubahan dalam diri Allah. Karena itu Allah tidak bergerak.[20]

Bagi al-Farabi, Allah itu adalah adalah Esa. Apabila ada dua Allah, maka akan ada sebagian kemiripan dan sebagian perbedaan yang satu dengan yang lain, dengan demikian simpilisitas masing-masing akan merupakan hal yang mustahil. Apabila ada sesuatu yang sama dengan Allah, maka Ia akan gagal memiliki kepenuhan ada, sebab kepenuhan berarti hal yang tidak mungkin untuk ada selain diri-Nya. Jika Allah memiliki kepenuhan ada, yakni absolut dan takterbatas, maka tak mungkin bisa dimengerti akan adanya yang seperti Dia selain Dia. Kalau demikian maka hanya ada satu Ada yang tak terbatas, jadi hanya ada satu Allah. Allah atau Tuhan itu Esa sebab Ia bebas dari segala pembagian unsur-unsur. Esa dalam diri Allah berarti Ia tak terbagi, Dia yang tak terbagi dalam substansi, adalah juga satu dalam esensi. Dengan demikian hanya ada satu Allah saja.[21]

Pengetahuan tentang Allah tidak bisa lepas dari teori metafisika al-Farabi tentang esensi dan eksistensi. Esensi adalah alasan mengapa sesuatu itu berada dan apakah sesuatu itu. Sedangkan eksistensi adalah aktualitas dari esensi.[22] Keduanya memiliki perbedaan. Di dalam ciptaan, dapat ditemukan bahwa esensi tidak harus mencakup eksistensi sesuatu itu, sebab dalam kasus itu ada kemungkinan memikirkan esensinya tanpa mengetahui apakah sesuatu itu ada atau tidak. Hanya ada satu saja yang esensinya adalah eksistensinya yaitu Allah sendiri. Pemisahan yang logis yang terdapat pada ciptaan dijadikan alasan al-Farabi untuk membedakan antara adaan dan Ada. Ada atau Tuhan adalah yang ada dalam diri-Nya sendiri dan yang mutlak ada, Dia adalah murni Aktual dan Sempurna. Karena di dalam diri-Nya tidak ada dualism antara esensi dan eksistensi-Nya, maka al-Farabi mengatakan bahwa itu merupakan bukti bahwa Allah itu Esa dan Tunggal.[23]

3.   Kritik dan Relevansi

Penulis memiliki alasan untuk memilih kedua tokoh ini dalam menjelaskan keberadaan Allah dan sifat-sifat-Nya. Alasan tersebut adalah bahwa al-Farabi merupakan filsuf muslim yang membuka jalan bagi filsuf muslim lainnya, termasuk filsuf muslim yang sangat terkenal, Ibn Sina. Ibn Sina mencapai kedudukan yang sangat terhormat dalam filsafat Islam karena mengadopsi sistem filsafat al-Farabi. Dalam banyak buah pemikirannya, Ibn Sina justru hanya mengulangi argumentasi al-Farabi. Penulis memilih Thomas Aquinas, karena tidak dapat diragukan lagi bahwa ia adalah filsuf dan teolog paling besar dalam abad Pertengahan. Thomas adalah adalah filsuf Kristen yang berhutang budi pada al-Farabi dan filsuf Muslim lainnya dalam mengembangkan sistem filsafatnya. Terutama dalam pengetahuan akan Allah, Thomas banyak mengadopsi buah pemikiran al-Farabi.

Pada studi pustaka dan melalui uraian di atas, penulis menemukan bahwa kedua tokoh memiliki konsep metafisika yang hampir sama. Thomas memberikan bukti-bukti keberadaan Allah dengan sebutan Lima Jalan (Five Ways). Kelima bukti yang dikemukakan oleh Thomas ini ternyata sudah pernah disebutkan oleh al-Farabi dalam metafisika teologisnya. Maka sebagai filsuf yang berutang budi pada al-Farabi, dapat disebutkan bahwa Thomas mendapat pengaruh dari al-Farabi untuk memberikan bukti-bukti dan sifat-sifat Allah. Maka dalam uraian di atas, penulis dengan sengaja membuat penjelasan tentang Thomas sebagai pembuka dan kemudian diikuti oleh pemikiran al-Farabi. Hal ini dibuat untuk menemukan letak kesamaan dan pengaruh pemikian al-Farabi dalam pemikiran Thomas.

Uraian di atas menjadi sangat relevan bagi penulis dan bagi banyak orang yang sering meragukan keberadaan Allah. Ketidaktampakan Allah dalam bentuk wujud material menjadi alasan bagi sejumlah orang untuk tidak meyakini akan adanya Allah. Bagi penulis, Allah memang masih misteri. Allah itu sekaligus bisa diketahui dan bisa tidak diketahui. Allah itu sekaligus jelas dan sekaligus tersembunyi. Hal ini sangat wajar karena manusia memiliki keterbatasan akal, sehingga sangat sulit untuk mengetahui siapakah Allah itu. Allah adalah pencipta yang keberadaan dan cara-cara-Nya tidak pernah bisa diduga. Oleh karena itu, penulis hendak mengutip surat Rasul Paulus kepada umat di Roma, sebagai relevansi iman penulis dalam mengembangkan tulisan ini, “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? … Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm 11:33-36).

 

DAFTAR PUSTAKA

Copleston, Frederick. A History of Philosophy Volume II: Medieval Philosophy. New York: Double Day, 1993.

Davies, Brian. Thomas Aquinas's Summa Contra Gentiles: A Guide and Commentary. New York: Oxford University Press, 2016.

Fakhry, Majid. Al-Farabi, Founder of Islamic Neoplatonism: His Life, Works and Influence. England: One World Publications, 2002.

Jackson, Roy. What is Islamic Philosophy? London: Routledge, 2014.

Kenny, Anthony. Studies in Ethics and the Philosophy of Religion Volume V: the Five Ways St. Thomas Aquinas’ Proofs of God’s Existence. New York: Routledge. 2003.

Reisman., Jon McGinnis and David C. Classical Arabic Philosophy: An Anthology of Sources. Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2007.

Soleh, H. A. Khudori. Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016.

 


[1] Frederick Copleston, A History of philosophy Volume II, (New York: Image Books DoubleDay, 1993), hlm. 337.

[2] Brian Davies, Thomas Aquinas’s Summa Contra Gentiles: A Guide and Commentary, (New York: Oxford University Press, 2016), hlm. 38.

[3] Anthony Kenny, “The Five Ways: St. Thomas Aquinas’ Proofs of God’s Existence”, dalam D. Z. Philips (ed.), Studies in Ethics and Philosophy of Religion (New York: Routledge, 2003), hlm. 7.

[4] Majid Fakhry, Al-Farabi, Founder of Islamic Neoplatonism: His Life, Works and Influence, (England: Oneworld Publications, 2002), hlm. 79.

[5] Brian Davies, Thomas Aquinas’s…, hlm. 53-54.

[6] Anthony Kenny, “The Five Ways…, hlm. 42.

[7] A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), hlm. 98.

[8] Anthony Kenny, “The Five Ways…, hlm. 55.

[9] Jon McGinnis and David C. Reisman, Classical Arabic Philosophy: An Anthology of Sources, (Indianapolis: Hackett Publishing Companya, 2007), hlm. 81-82.

[10] Roy Jackson, What is Islamic Philosophy, (Oxon: Routledge, 2014), hlm. 44.

[11] Brian Davies, Thomas Aquinas’s…, hlm. 45.

[12] Anthony Kenny, “The Five Ways…, hlm. 87.

[13] A. Khudori Soleh, Filsafat Islam…, hlm. 97-98.

[14] Brian Davies, Thomas Aquinas’s…, hlm. 45.

[15] Anthony Kenny, “The Five Ways…, hlm. 112.

[16] A. Khudori Soleh, Filsafat Islam…, hlm. 93-94.

[17] Frederick Copleston, A History…, hlm. 348-349.

[18] Brian Davies, Thomas Aquinas’s…, hlm. 60.

[19] Roy Jackson, What is…, hlm. 47.

[20] A. Khudori Soleh, Filsafat Islam…, hlm. 95.

[21] A. Khudori Soleh, Filsafat Islam…, hlm. 98.

[22] Jon McGinnis and David C. Reisman, Classical…, hlm. 79.

[23] A. Khudori Soleh, Filsafat Islam…, hlm. 98.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Filsafat Pengetahuan dalam Kehidupan Sehari-hari

              Filsafat pengetahuan adalah satu dari beberapa cabang ilmu filsafat yang secara lebih mendalam membahas tentang manusia dan ...