Orang Batak Toba yang telah
meninggal akan dihormati oleh orang-orang yang mencintainya dengan berbagai
cara. Bagi mereka yang beragama Kristen, jasad orang yang sudah meninggal akan
dibuat dalam peti dan dimakamkan di dalam tanah. Makam itu biasa disebut tinambor.
Namun selain itu, ada juga kebiasaan lain dengan cara menempatkannya dalam
satu bangunan yang sudah disiapkan khusus, yang disebut sebagai batu na pir
atau simin. Ada juga penghormatan yang lebih besar kepada orang tua
yaitu dengan cara membangun tugu. Tugu bukanlah tempat jenazah, tetapi hanya
monumen penghormatan yang biasanya didirikan patung. Tentunya masih ada banyak
bentuk penghormatan terhadap orang meninggal dalam budaya Batak Toba. Namun
penulis hanya akan menguraikan ketiga “bangunan” sebagai tempat jenazah
dikuburkan, yaitu tambak, batu na pir, dan tugu.
1.
Tambak
Dari
gundukan tanah di pusara seseorang yang dikubur dapat diketahui apakah yang
berkubur disitu sudah bercucu atau belum. Kalau belum bercucu maka pusara itu
biasa saja. Tetapi apabila sudah bercucu dan diberangkatkan dengan adat na
gok[1],
yaitu marboan[2],
maka gundukan tanah itu lebih lebar dan lebih tinggi.
Untuk
membuat gundukan tanah itu lebih lebar dan lebih tinggi, diperlukan bongkahan-bongkahan
tanah yang dalam bahasa Batak Toba disebut buki, gogat, atau urbing. Menurut
Herman Billy Situmorang untuk kuburan yang sarimatua[3]
bongkah tanah itu 5 tingkat, dan untuk
yang saurmatua[4]
dan saurmatua bulung[5]
bongkah tanah itu 7 tingkat. Ada juga
yang menggunakan ukuran meter, tinggi 1, 5 meter, lebar 0,5 meter, dan
panjangnya 3 meter.
Gundukan
tanah yang ditinggikan di atas kuburan inilah yang disebut tambak atau dolok-dolok
na timbo. Seseorang yang meninggal dan dibuatkan tambaknya, adalah
apabila seseorang sudah bercucu dan diberangkatkan dengan adat na gok
yaitu marboan. Tentu saja membuatkan tambak ini hanya berlaku di bona
pasogit (kampung halaman), di parserakan (perantauan)
terutama di kota-kota besar adalah sesuatu hal yang tidak mungkin.
Biasanya
manambak atau membuatkan tambak tersebut dilakukan besok harinya
setelah dikubur. Hadir pada acara manambak ini adalah dongan
sabutuha, boru/bere, mendampingi anak cucu almarhum/almarhumah. Sesudah tambak
itu jadi, dilanjutkan dengan manuan ompu-ompu (menanam
bunga bakung) di atas gundukan tanah tersebut. Cucu-cucu dari anak laki-laki
menanam di sebelah kanan, dan cucu anak dari perempuan menanam di sebelah kiri.
Dulu
ada juga yang menanam pohon beringin di atas tambak tersebut. Ada kepercayaan
lama, apabila pohon beringin itu tumbuh subur, marurat tu toru (berakar
ke bawah) marbulung tu ginjang (berdaun rimbun ke atas) dan mardangka
tu lambung (bercabang ke samping), maka keturunannya akan gabe (hidup
lebih sejahtera) dan mamopar (banyak keturunan). Belakangan ini sudah
tidak ada lagi yang melakukan itu, yang lazim itu adalah tulang kepala ternak boan
itu digantungkan di salib.
2.
Batu Na Pir
Secara
harfiah batu na pir berarti batu yang keras. Batu na pir adalah
bangunan yang terbuat dari bahan batu dan semen, yang di dalamnya disediakan
kapling-kapling kuburan untuk 5 atau 7 orang. Nama lain yang lazim dipakai
untuk nama bangunan seperti ini adalah simin (semen). Adakalanya disebut
juga, bahkan ada yang menyebutnya tugu. Nama yang cermat untuk bangunan ini
adalah batu na pir atau simin. Sebab tambak tidak selalu batu
na pir, dan tugu bukan tempat berkubur.
Di
dinding bangunan yang dinamakan batu na pir tersebut dibuatkan rak-rak
untuk meletakkan tengkorak. Apabila yang berkubur di situ sudah lama, lalu kapling
itu akan digunakan oleh yang baru meninggal, maka yang lama itu digali dan
tengkoraknya pun ditaruh di dalam satu wadah tertentu dan diletakkan di rak
yang tersedia. Nama pemilik tengkorak pun dibuatkan agar dapat dibedakan dengan
tengkorak lainnya.
Salah satu syarat yang utama untuk boleh membangun batu na pir di satu desa ialah keluarga yang membangun batu na pir tersebut harus mempunyai huta[6] di desa tersebut. Artinya, keluarga pendatang (paisolat) tidak boleh membangun batu na pir di desa tersebut. Kalaupun mereka telah membeli sebidang tanah untuk perkampungan dan secara hukum sudah menjadi miliknya, itu belum cukup. Hendaklah diadatkan atau dikukuhkan bahwa mereka mempunyai huta di desa tersebut.
Tujuan
utama membuatkan batu na pir adalah mendekatkan rasa persaudaraan sesama
satu ompu, sekaligus memberi penghormatan kepada ompu yang
dibuatkan batu na pirnya. Penghormatan yang diberikan tersebut memang
tidak lagi dirasakan oleh ompu tersebut karena sudah mati. Yang
merasakan justru keturunan yang membuatkannya itu. Ada kebanggaan tersendiri
bagi mereka yang sanggup membangun batu na pir ayah atau kakeknya. Itu
sebagai bukti bahwa sesama mereka na marhaha maranggi (yang bersaudara) ada
hasadaon ni roha (kebersamaan). Diharapkan sesama keturunan mereka kelak,
rasa persaudaraan itu tetap terpelihara dan akan selalu tolong-menolong.
Anggota
keturunan pemilik batu na pir yang berhak berkubur di batu na pir
tersebut ialah:
1. Bila
perkawinannya sudah sah secara adat. Artinya, perkawinannya sudah dikukuhkan
secara adat.
2.
Yang
meninggal tergolong sarimatua, saurmatua, atau saurmatua bulung.
3. Bila
seseorang itu meninggal dalam status mate mangkar[7]
atau mate hatungganeon[8],
biasanya lebih dulu dikubur di halaman batu na pir. Bila pada waktunya
nanti bercucu, dapat digali dan tengkoraknya disimpan di batu na pir.
4. Waktu
dia meninggal itu harus dengan adat na gok, yaitu marboan atau
menyembelih seekor ternak sigagat duhut (pemakan rumput) sebagai boan.
5. Melaksanakan adat ungkap hombung atau piso na ganjang kepada hula-hula.[9]
3.
Tugu
Sebutan
tugu adakalanya digunakan untuk batu na pir. Menurut penulis penamaan
demikian tergolong kurang cermat. Sebab tugu tidaklah terkait dengan kuburan.
Di dalam tugu atau areal tugu tidak ada yang dikuburkan, mayat atau tulang-belulang.
Tugu adalah bangunan biasa yang dibangun di tempat strategis di desa tempat
keturunan satu leluhur bermukim.
Misalnya
tugu marga Butarbutar (marga dari penulis) dibangun di Sibisa, kecamatan
Ajibata. Itu berarti dulu di masa hidupnya Butarbutar bermukim di situ, dan
keturunannya pun mamopar (beranak-cucu) di tempat itu. Dari tempat
itulah berserak ke parserakan (perantauan) dan membuka perkampungan
baru. Tugu marga Manurung (marga dari ibu penulis) juga dibangun di Sibisa yang
berarti marga Manurung bermukim di wilayah Sibisa.
Adakalanya
tugu itu dibangun atas nama leluhur marga, ada juga atas nama satu cabang ompu
generasi kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Misalnya Tugu Butarbutar
Simananduk (anak pertama dari marga Butarbutar) yang ada di desa Sihiong,
Porsea, sedangkan kuburannya berada di Sibisa.
Tujuan
utama membangun tugu adalah untuk menjalin rasa persaudaraan sesama satu marga
atau satu ompu, terutama untuk generasi mendatang. Juga dapat sebagai
bukti bagi generasi penerus, bahwa yang semarga, satu ompu dapat tumbuh
kesepakatan (sada ni roha) membangun tugu yang demikian rupa. Hal itu
akan menjadi perekat sesama satu marga atau satu ompu menjalin
kebersamaan di kemudian hari. Selain itu, untuk mengenang perilaku positif para
leluhur yang dibuatkan tugunya agar dapat diteladani keturunannya kelak. Ini
semua adalah menjadi sejarah intern marga, intern ompu di kemudian hari.
Refleksi dan
Komentar
Budaya merupakan bagian tak
terpisahkan dari kehidupan manusia. Sebagai bagian dari hidup manusia, budaya
akan memotori kemajuan bagi manusia tersebut. Namun budaya akan menjadi
penghalang apabila budaya melahirkan kebiasaan-kebiasaan negatif. Budaya
dibentuk oleh manusia sendiri dan sekaligus manusia dibentuk oleh budayanya.
Dalam bahasa antropologi-sosiologi, budaya merupakan segala sesuatu yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, aturan-aturan, yang dihasilkan
dan dibentuk oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat. Namun filsafat
memandang kebudayaan sebagai usaha dan hasil usaha manusia dengan kekuatan akal
budinya demi memenuhi kebutuhannya baik jasmani maupun rohani untuk semakin
memanusiakan manusia. Dalam bahasa yang singkat, budaya adalah proses
humanisasi.
Sebagai bagian dari masyarakat, manusia
Batak juga pasti mempunyai budaya. Budaya dalam suku Batak sangat kaya dan
beragam. Unsur budaya yang penulis uraikan di atas adalah satu unsur kebudayaan
Batak Toba. Penulis tinggal di huta Sibisa, Kecamatan Ajibata, Kabupaten
Toba. Uraian di atas bukan hanya sekadar tinjauan pustaka, tetapi juga
merupakan kenyataan lapangan di mana penulis menghabiskan masa kecil di kampung
tersebut. Dan contoh silsilah di atas merupakan silsilah nenek moyang penulis
sendiri.
Penulis melihat uraian dari unsur
kebudayaan di atas dalam dua kata: baik dan kurang baik. Menurut hemat penulis,
segala unsur kebudayaan pasti mengandung unsur baiknya. Unsur baik disini yaitu
tujuan filsafat budaya itu sendiri yakni proses humanisasi. Membuat tambak,
batu na pir, dan tugu adalah unsur kebudayaan yang pantas dipuji dan
dilestarikan. Tujuan utama membuat tambak, batu na pir, dan tugu
tersebut adalah tak lain tak bukan sebagai bentuk penghormatan kepada orang
yang sudah meninggal. Memang menghormati orang meninggal dengan cara tersebut
tidaklah membawa pengaruh apa pun bagi orang yang meninggal tersebut, tetapi
orang yang menghormati tersebut memperoleh nilai bahwa jasa-jasa orang yang
sudah meninggal pantaslah diingat. Memang menghormati dan menghargai orang jauh
lebih tepat ketika orang tersebut masih hidup. Namun kematian adalah suatu
keniscayaan maka setelah meninggal pun pantaslah untuk dihormati.
Selain untuk menghormati orang yang
sudah meninggal, membuat tambak, batu na pir, dan tugu adalah satu cara
yang sangat baik untuk membangun relasi yang akrab di antara keturunan orang
yang dibuatkan tambaknya. Tujuan ini rasanya sangat mulia apabila sungguh
tercapai demikian. Sering terjadi ketika orang tua sudah meninggal, maka
keturunan mereka menjadi renggang. Kebiasaan masyarakat batak mangaranto
(merantau) juga menjadi salah satu pemicu renggangnya hubungan di antara
mereka. Selain itu, retaknya hubungan keluarga sering terjadi karena saling
berebut harta warisan, terutama tanah. Maka tambak, batu na pir, dan
tugu bisa menjadi satu penanda bahwa mereka yang membangun bangunan tersebut
pernah terlibat kerjasama yang baik, sebab bangunan tersebut dapat berdiri
kokoh hanya kalau mereka dapat mardos ni roha (bekerja sama). Paling
tidak, dengan melihat bangunan dan berziarah ke tambak tersebut, mereka akan
mengingat poda (wasiat) yang pernah diungkapkan oleh orang tua mereka
itu.
Setelah melihat unsur kebaikan, penulis
mau mencoba melihat beberapa unsur kebudayaan tersebut yang kurang baik.
Membuat batu na pir dan tugu bukanlah sesuatu yang mudah terutama dalam
hal biaya. Boleh jadi membuat satu batu na pir membutuhkan biaya yang
biayanya sama dengan membangun rumah permanen. Hal ini mengandaikan bahwa
mereka yang terlibat dalam pembangunan tersebut adalah orang-orang yang
memiiliki kelas ekonomi menengah ke atas. Namun kenyataannya bahwa tidak semua
anggota keluarga memiliki keadaan ekonomi yang mencukupi. Adakalanya anggota
keluarga yang ikut terlibat harus memaksakan diri untuk memberi sumbangan sebab
sebagai anggota keluarga, mereka memiliki kewajiban untuk ikut didalamnya.
Keluarga yang ekonominya kurang mencukupi hendaknya disokong oleh keluarga yang
keadaan ekonominya mencukupi. Dan apabila ternyata kondisi ekonomi keluarga
rata-rata kurang mencukupi hendaknya tidak memaksakan diri untuk membangun batu
na pir dan tugu tersebut. Menghormati orang tua yang sudah meninggal dengan
cara membuatkan bangunan yang megah bukanlah satu-satunya cara. Bahkan cara
terbaik untuk menghormati mereka adalah dengan berdoa kepada Allah untuk
keselamatan kekal jiwa mereka.
Selain itu, dengan dibuatnya
bangunan megah, ada kesan bahwa jiwa orang yang sudah meninggal akan
berbahagia. Dengan dibuatkannya bangunan tersebut, keluarga yang membuat
bangunan tersebut merasa bahwa permintaan mereka melalui arwah orang meninggal
tersebut akan lebih mudah tercapai. Kenyataan bahwa kepercayaan tradisional
orang Batak bahwa orang tua yang sudah meninggal dapat mendengar dan memberi
permintaan masih terasa. Hal ini tampak ketika upacara ziarah di makam, ada
saja ungkapan yang selalu penulis dengar, “martinangi marbinege maho oppung
di angka pangidoan ni siminik mon. Dongani jala parrohahon ma hami manang didia
hami maringanan”. Artinya, “dengarkanlah permintaan kami anak-anakmu ini.
Bersedialah menemani dan menjagai kami dimana pun kami berada.” Hal ini tentu
bertentangan dengan iman kekristenan. Hanya Allah saja yang mampu membuat
segala sesuatu dapat terjadi. Sekian dan terima kasih.
Sumber Bacaan
Sinaga, Richard. Meninggal:
Adat Dalihan Natolu. Jakarta: Dian Utama, 1999.
[1] Adat na gok
secara harfiah dapat diterjemahkan dengan “adat yang penuh”. Adat na gok
adalah upacara adat yang dipestakan dan dihadiri oleh kaum kerabat. Kelompok hula-hula
(pihak pemberi perempuan), pihak boru (penerima perempuan) dan dongan
sabutuha (kerabat semarga) atau yang dikenal sebagai dalihan na tolu
saling memberi dan menerima adat sesuai dengan kedudukannya masing-masing.
[2]
Marboan secara harfiah berarti “ada yang
dibawa”. Marboan artinya bahwa upacara adat na gok tersebut
dirayakan dengan menyembelih hewan ternak. Menurut adat Dalihan na tolu,
seseorang yang meninggal sarimatua, saurmatua, dan saurmatua bulung
sudah harus marboan. Ternak yang dapat dikategorikan sebagai boan
haruslah sigagat duhut (ternak pemakan rumput) yaitu lombu sitio
(sapi), gaja toba (kerbau), dan ada juga yang menyembeliih kuda. Apa
maknanya? Kata boan yang berarti “bawa” hendak mengatakan bahwa dengan
adanya ternak yang disembelih pada acara adat pemberangkatannya ke kubur, itu
berarti bahwa yang meninggal tersebut sudah membawa kehormatan. Di tempat lain
juga disebut Ola, yang berarti “ganti”. Maksudnya, dalam menghadapi
kematian tersebut ilu (air mata) dan habot ni roha (dukacita)
sudah pantas diganti dengan engkel dohot las ni roha (sukacita).
[3] Sarimatua adalah status
seseorang meninggal ketika dia sudah memiliki cucu tetapi belum semua anaknya
menikah.
[4] Saurmatua adalah status
seseorang yang sudah meninggal ketika sudah memiliki cucu dari semua anaknya
atau paling tidak memiliki cucu dari anaknya laki-laki dan anaknya perempuan.
[5] Saurmatua bulung adalah
status seseorang yang sudah meninggal ketika semua anaknya sudah menikah dan
bahkan anaknya tersebut sudah memiliki cucu.
[6] Huta secara
harfiah berarti kampung. Kampung yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah jika
orang atau kelompok marga tersebut memiliki rekam jejak yang mengatakan bahwa
mereka adalah pemilik kampung tersebut. Untuk dapat memiliki huta biasanya
didapat ketika nenek moyang mereka menempati wilayah tersebut untuk pertama
kalinya.
[7] Mate
mangkar adalah status seseorang yang meninggal di mana
anak-anaknya masih kecil. Anak-anak yang ditinggal disebut na saksak mardum,
artinya belum ada yang bisa mengurus diri sendiri. Suami yang ditinggal
mati oleh istri disebut matompas tataring, artinya perapian yang ambruk.
Sedangkan istri yang ditinggal mati oleh suami disebut matipul ulu,
artinya patah kepala.
[8] Mate
hatungganeon adalah status seseorang yang meninggal ketika umurnya
sudah pantas untuk memiliki cucu, anak-anaknya sudah dewasa, bahkan sudah ada
yang menikah, namun belum juga memiliki cucu. Acara adat yang dilaksanakan sama
dengan adat mate mangkar.
[9] Ungkap
hombung dan piso na ganjang adalah satu adat dimana
pihak hula-hula menerima sesuatu yang berharga dari pihak keluarga yang
meninggal. Ungkap sinonim dengan buha yang berarti buka, membuka.
Hombung adalah potongan kayu besar yang dilubangi yang biasa dibuat untuk
menyimpan harta benda keluarga. Maka ungkap hombung berarti membuka atau
mengambil sesuatu dari dalam hombung. Piso na ganjang secara
harfiah berarti pisau yang panjang. Piso na ganjang adalah salah satu
pusaka bagi orang Batak. Apabila yang meninggal adalah nenek, maka disebut ungkap
hombung, dimana anak laki-laki dari saudara laki-lakinya berhak mangungkap
hombung. Apabila yang meninggal adalah kakek, maka disebut piso na
ganjang, di mana yang berhak menerima adalah pihak hula-hula dari
yang meninggal. Ungkap hombung dan piso na ganjang biasanya
ditandai dengan pemberian ternak, emas atau uang. Namun dewasa ini, adat ini
sudah digantikan dengan uang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar