Menutup
jenazah dengan ulos tidak ada kaitannya dengan kepercayaan lama atau pelebegu.
Acara penutupan jenazah hanyalah lambang pernyataan duka yang mendalam secara
adat. Kalau dalam Kitab Suci yang meninggal itu dibungkus dengan kain kafan,
yaitu kain lenan yang putih bersih, di adat Batak dengan kain tenunan Batak
yang namanya ulos. Dengan ditutupnya jenazah dengan ulos, maka
secara adat kematian itu sudah sah. Ulos penutup jenazah itu disebut ulos
saput. Setelah ulos saput dibentangkan di atas jenazah,
barulah diberi ulos ulos tujung dan ulos sampetua
kepada pasangan yang ditinggal mati, diikuti dengan pemberian ulos holong
kepada anak yang ditinggal mati.
Kerabat
manakah yang memberi ulos? Untuk menjawab pertanyaan ini tidaklah
gampang. Sebab sering terjadi perdebatan di masyarakat Dalihan Na Tolu[1]. Maka sangat baik juga
kebiasaan dalam budaya Batak yang mengadakan tonggo raja, yaitu acara
yang dibuat sebelum acara puncak dimana dibicarakan berbagai hal yang perlu
dilakukan dalam acara puncak tersebut, termasuk menentukan siapa yang akan
memberikan ulos kepada yang meninggal. Acara tonggo raja umumnya
dihadiri kerabat Dalihan Na Tolu: dongan tubu[2], hula-hula[3], dan boru[4] serta masyarakat setempat.
Dan pada umumnya, adat di luat (kampung) orang yang meninggal itulah
yang berlaku, sesuai dengan prinsip: sidapot solup do na ro. Artinya
bahwa kebiasaan adat di tempat yang kita datangi itu yang menjadi berlaku.
Berikut
adalah nama ulos yang diberikan kepada orang yang meninggal dan kerabat
yang memberikan.
1.
Ulos Parsirangan
Ulos parsirangan diberikan kepada seseorang yang meninggal dimana ia belum berkeluarga. Ulos ini digelar menutup mayat dari leher sampai kaki. Wajahnya tidak ikut ditutup. Ulos parsirangan artinya ulos perpisahan, yang berarti sebagai tanda perpisahan dari pihak keluarga kepada yang meninggal. Siapa yang memberi? Ada dua pendapat, yaitu ada yang mengatakan bahwa ulos ini diberikan oleh orang tuanya, dan ada juga yang mengatakan diberi oleh tulang[5]nya. Di tempat tinggal orang tua penulis, kerabat yang memberikan ulos ini adalah pihak tulang dari yang meninggal.
2.
Ulos Saput
Pada
prinsipnya, ulos saput sama dengan ulos parsirangan,
hanya saja ulos saput diberikan kepada orang yang meninggal bila
ia sudah berkeluarga, atau hot ripe. Ulos saput memiliki makna supaya
orang yang meninggal selamat dalam perjalanan menuju Tuhannya dan supaya semua
keluarga yang ditinggalkan tidak terpuruk dalam kesedihan.
Tentang
siapa yang memberi, inilah yang menjadi perdebatan karena berbagai tempat pasti
memiliki kebiasaan adat yang sedikit berbeda. Paling tidak, ada dua
tempat/wilayah besar yang memberlakukan bentuk adat yang berbeda:
A) Kebiasaan
adat Humbang, Samosir, dan Silindung
Umumnya di Humbang, Samosir, dan Silindung
berpendapat: apabila yang meninggal adalah ibu/nenek, kerabat yang memberi ulos
saput adalah hula-hula. Dan apabila yang meninggal adalah
bapak/kakek, maka yang memberikan ulos saput adalah pihak tulang.
B) Kebiasaan
adat Toba Holbung
Adat Toba Holbung adalah wilayah yang meliputi Balige dan Porsea sekitarnya. Mereka berpendapat: apabila yang meninggal adalah ibu/nenek, maka yang memberikan ulos saput adalah pihak tulang dari yang meninggal, yang dalam bahasa Toba disebut tulang rorobot[6]. Dan apabila yang meninggal adalah bapak/kakek, maka yang memberikan ulos saput adalah tulang.
3.
Ulos Tujung
Kalau
ulos saput diberikan kepada orang yang meninggal, maka ulos
tujung adalah ulos yang diberikan kepada suami atau istri yang
ditinggal pasangannya. Apabila pasangan yang ditinggal masih muda dan masih
mungkin mencari atau menerima pasangan baru, maka ulos yang diberikan
disebut dengan nama ulos tujung. Ulos ini biasanya
dikerudungkan di kepala. Pengerudungan ulos di kepala suami atau istri
yang ditinggal mati adalah sebagai lambang pernyataan dukacita yang mendalam
secara adat Dalihan Na Tolu. Selain itu, makna pemberian ulos tujung
ini adalah menggambarkan bahwa tidak ada lagi teman hidup, tidak akan ada lagi
temannya untuk mengikuti acara adat, dan ini menggambarkan tanggungjawab
semakin besar. Jika yang meninggal adalah suami, maka tanggung jawab istri
semakin berat, karena dia sudah sekaligus menjadi kepala rumah tangga. Maka
tujuan pemberian ulos ini adalah supaya suami atau istri yang ditinggal
tetap kuat menjalani apa pun yang terjadi tanpa teman hidup.
Pada prinsipnya dalam kebiasaan awal
adat Batak, ulos tujung ini dikerudungkan di kepala selama masa
berkabung, yaitu selama tujuh hari. Setelah tujuh hari barulah kerabat datang
membukanya. Setelah tujung itu dibuka, secara adat si suami atau istri
yang ditinggal mati pasangannya itu sudah berhak menerima lamaran laki-laki
lain atau berhak mencari pasangan lain. Namun dewasa ini, kebiasaan ini sudah
diganti yaitu dengan membukanya selekas acara pemakanan. Acara itu disebut ulaon
sadari, yang artinya tujung itu diberi pagi hari dan dibuka sore
harinya. Namun tidaklah berarti, setelah tujung itu dibuka maka dia
langsung dapat menerima atau mencari pasangan baru.
Tentang
siapa yang memberi, juga harus dilihat berdasarkan adat setempat, seperti
dijelaskan dalam dua kebiasaan adat besar di atas. Dalam adat Humbang,
Silindung, dan Samosir, apabila yang meninggal adalah perempuan, maka pihak hula-hula
memberikan ulos saput dan ulos tujung diberikan
oleh tulangnya kepada suami yang ditinggal. Dan apabila yang meninggal
adalah laki-laki, maka yang memberikan ulos saput adalah tulang,
dan yang memberikan tujung kepada istri yang ditinggal adalah hula-hula.
Dan
pendapat yang kedua, yakni adat Toba Holbung: apabila yang meninggal adalah
perempuan, tulang rorobot akan memberikan ulos saput,
dan suami yang ditinggal akan diberikan ulos tujung oleh hula-hula.
Dan apabila yang meninggal adalah laki-laki, maka yang memberikan ulos saput
adalah tulang, dan ulos tujung diberikan oleh hula-hula
kepada istri yang ditinggalkan.
Untuk mempermudah pemahaman, tabel di bawah ini akan membantu:
a. Adat Humbang, Samosir, dan Silindung
Yang Meninggal | Pemberi Ulos Saput | Pemberi Ulos Tujung |
Ibu/nenek | Hula-hula | Tulang |
Bapak/kakek | tulang | Hula-hula |
Yang Meninggal | Pemberi Ulos Saput | Pemberi Ulos Tujung |
Ibu/nenek | Tulang Rorobot | Hula-hula |
Bapak/kakek | tulang | Hula-hula |
4.
Ulos Sampetua
Ulos sampetua
adalah ulos yang diberikan kepada suami/istri yang ditinggal
pasangannya, apabila mereka sudah tergolong sarimatua[7],
saurmatua[8],
dan saurmatua bulung[9].
Hal ini juga mengandaikan mereka sudah tua, sehingga tidak memungkinkan lagi
untuk menikah. Ulos sampetua ini tidak dikerudungkan di kepala,
melainkan digelar (diuloshon) di pundak (abara). Hal ini menjadi
simbol yang memiliki makna bahwa kematian suami atau istri yang sudah berumur
lanjut dan bercucu bahkan bercicit begitu, tidak lagi sebagai duka cita yang
mendalam. Selain itu, diberikannya ulos sampetua kepada pasangan
yang ditinggal mati, tidak lagi menerima atau mencari pasangan atau tidak akan
kawin lagi sampai akhir hayatnya. Sampetua, secara harfiah berarti,
sampailah menjadi tua. Tua di sini juga berarti memiliki umur panjang
dan diberkati Tuhan. Maka ulos sampetua memiliki arti bahwa semoga yang
ditinggal memiliki umur yang Panjang dan dalam keadaan sehat walafiat.
Terkait siapa yang memberikan ulos ini, pada prinsipnya berlaku seperti pemberian ulos tujung pada penjelasan di atas.
5.
Ulos Holong
Selain ulos saput dan ulos
tujung/sampetua, di acara adat untuk yang meninggal sarimatua,
dan saurmatua, dan saurmatua bulung ada lagi ulos, yaitu ulos
holong. Secara harfiah, ulos holong berarti ulos
kasih, yang berarti sebagai simbol kasih dari pihak tulang dan hula-hula.
Mengenai penerima dan pemberi ulos holong ini, ada berbagai
pendapat. Untuk penerima, ada kalanya diterima oleh anak laki-laki tertua
sebagai perwakilan. Ada kalanya diberi dua, satu untuk anak laki-laki yang
tertua dan satu lagi untuk anak perempuan yang diwakili yang tertua. Selain
itu, ada juga pendapat bahwa penerima ulos ini bukan kepada anak, tetapi
diletakkan di atas peti jenazah.
Sumber Bacaan
Sinaga, Richard. Meninggal:
Adat Dalihan Natolu. Jakarta: Dian Utama, 1999.
[1] Dalihan Na
Tolu menjadi kerangka hubungan kekerabatan darah dan
perkawinan yang mempertalikan kelompok. Istilah Dalihan Na Tolu
mempunyai arti tungku berkaki tiga. Ini menunjukkan tiga kedudukan fungsional
sebagai konstruksi social yang terdiri atas tiga hal yang menjadi dasar
bersama.
[2] Dongan tubu
adalah kelompok orang-orang yang posisinya “sejajar”, yaitu: teman/saudara
semarga.
[3] Hula-hula
adalah kelompok marga istri, kelompok marga ibu (istri bapak), kelompok marga
nenek, dan beberapa generasi kelompok marga istri anak, kelompok istri cucu,
kelompok istri saudara dan seterusnya dari kelompok dongan tubu.
[4] Boru
adalah anak perempuan, atau kelompok marga yang mengambil istri dari anak
perempuan.
[5] Tulang
adalah kelompok marga dari ibu, yang dalam bahasa Indonesia disebut paman.
[6] Tulang
rorobot adalah kelompok marga dari nenek; atau kelompok marga dari tulang
dari ibu.
[7] Sarimatua adalah status
seseorang meninggal ketika dia sudah memiliki cucu tetapi belum semua anaknya
menikah.
[8] Saurmatua adalah status
seseorang yang sudah meninggal ketika sudah memiliki cucu dari semua anaknya
atau paling tidak memiliki cucu dari anaknya laki-laki dan anaknya perempuan.
[9] Saurmatua bulung adalah
status seseorang yang sudah meninggal ketika semua anaknya sudah menikah dan
bahkan anaknya tersebut sudah memiliki cucu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar