Minggu, 19 Desember 2021

MAKNA SIMBOLIK ULOS DALAM ADAT MENINGGAL BATAK TOBA



Menutup jenazah dengan ulos tidak ada kaitannya dengan kepercayaan lama atau pelebegu. Acara penutupan jenazah hanyalah lambang pernyataan duka yang mendalam secara adat. Kalau dalam Kitab Suci yang meninggal itu dibungkus dengan kain kafan, yaitu kain lenan yang putih bersih, di adat Batak dengan kain tenunan Batak yang namanya ulos. Dengan ditutupnya jenazah dengan ulos, maka secara adat kematian itu sudah sah. Ulos penutup jenazah itu disebut ulos saput. Setelah ulos saput dibentangkan di atas jenazah, barulah diberi ulos ulos tujung dan ulos sampetua kepada pasangan yang ditinggal mati, diikuti dengan pemberian ulos holong kepada anak yang ditinggal mati.

Kerabat manakah yang memberi ulos? Untuk menjawab pertanyaan ini tidaklah gampang. Sebab sering terjadi perdebatan di masyarakat Dalihan Na Tolu[1]. Maka sangat baik juga kebiasaan dalam budaya Batak yang mengadakan tonggo raja, yaitu acara yang dibuat sebelum acara puncak dimana dibicarakan berbagai hal yang perlu dilakukan dalam acara puncak tersebut, termasuk menentukan siapa yang akan memberikan ulos kepada yang meninggal. Acara tonggo raja umumnya dihadiri kerabat Dalihan Na Tolu: dongan tubu[2], hula-hula[3], dan boru[4] serta masyarakat setempat. Dan pada umumnya, adat di luat (kampung) orang yang meninggal itulah yang berlaku, sesuai dengan prinsip: sidapot solup do na ro. Artinya bahwa kebiasaan adat di tempat yang kita datangi itu yang menjadi berlaku.

Berikut adalah nama ulos yang diberikan kepada orang yang meninggal dan kerabat yang memberikan.

1.     Ulos Parsirangan

Ulos parsirangan diberikan kepada seseorang yang meninggal dimana ia belum berkeluarga. Ulos ini digelar menutup mayat dari leher sampai kaki. Wajahnya tidak ikut ditutup. Ulos parsirangan artinya ulos perpisahan, yang berarti sebagai tanda perpisahan dari pihak keluarga kepada yang meninggal. Siapa yang memberi? Ada dua pendapat, yaitu ada yang mengatakan bahwa ulos ini diberikan oleh orang tuanya, dan ada juga yang mengatakan diberi oleh tulang[5]nya. Di tempat tinggal orang tua penulis, kerabat yang memberikan ulos ini adalah pihak tulang dari yang meninggal.  

2.     Ulos Saput

Pada prinsipnya, ulos saput sama dengan ulos parsirangan, hanya saja ulos saput diberikan kepada orang yang meninggal bila ia sudah berkeluarga, atau hot ripe. Ulos saput memiliki makna supaya orang yang meninggal selamat dalam perjalanan menuju Tuhannya dan supaya semua keluarga yang ditinggalkan tidak terpuruk dalam kesedihan.

Tentang siapa yang memberi, inilah yang menjadi perdebatan karena berbagai tempat pasti memiliki kebiasaan adat yang sedikit berbeda. Paling tidak, ada dua tempat/wilayah besar yang memberlakukan bentuk adat yang berbeda:

A)   Kebiasaan adat Humbang, Samosir, dan Silindung

Umumnya di Humbang, Samosir, dan Silindung berpendapat: apabila yang meninggal adalah ibu/nenek, kerabat yang memberi ulos saput adalah hula-hula. Dan apabila yang meninggal adalah bapak/kakek, maka yang memberikan ulos saput adalah pihak tulang.

B)   Kebiasaan adat Toba Holbung

Adat Toba Holbung adalah wilayah yang meliputi Balige dan Porsea sekitarnya. Mereka berpendapat: apabila yang meninggal adalah ibu/nenek, maka yang memberikan ulos saput adalah pihak tulang dari yang meninggal, yang dalam bahasa Toba disebut tulang rorobot[6]. Dan apabila yang meninggal adalah bapak/kakek, maka yang memberikan ulos saput adalah tulang.

3.     Ulos Tujung

Kalau ulos saput diberikan kepada orang yang meninggal, maka ulos tujung adalah ulos yang diberikan kepada suami atau istri yang ditinggal pasangannya. Apabila pasangan yang ditinggal masih muda dan masih mungkin mencari atau menerima pasangan baru, maka ulos yang diberikan disebut dengan nama ulos tujung. Ulos ini biasanya dikerudungkan di kepala. Pengerudungan ulos di kepala suami atau istri yang ditinggal mati adalah sebagai lambang pernyataan dukacita yang mendalam secara adat Dalihan Na Tolu. Selain itu, makna pemberian ulos tujung ini adalah menggambarkan bahwa tidak ada lagi teman hidup, tidak akan ada lagi temannya untuk mengikuti acara adat, dan ini menggambarkan tanggungjawab semakin besar. Jika yang meninggal adalah suami, maka tanggung jawab istri semakin berat, karena dia sudah sekaligus menjadi kepala rumah tangga. Maka tujuan pemberian ulos ini adalah supaya suami atau istri yang ditinggal tetap kuat menjalani apa pun yang terjadi tanpa teman hidup.

            Pada prinsipnya dalam kebiasaan awal adat Batak, ulos tujung ini dikerudungkan di kepala selama masa berkabung, yaitu selama tujuh hari. Setelah tujuh hari barulah kerabat datang membukanya. Setelah tujung itu dibuka, secara adat si suami atau istri yang ditinggal mati pasangannya itu sudah berhak menerima lamaran laki-laki lain atau berhak mencari pasangan lain. Namun dewasa ini, kebiasaan ini sudah diganti yaitu dengan membukanya selekas acara pemakanan. Acara itu disebut ulaon sadari, yang artinya tujung itu diberi pagi hari dan dibuka sore harinya. Namun tidaklah berarti, setelah tujung itu dibuka maka dia langsung dapat menerima atau mencari pasangan baru.

Tentang siapa yang memberi, juga harus dilihat berdasarkan adat setempat, seperti dijelaskan dalam dua kebiasaan adat besar di atas. Dalam adat Humbang, Silindung, dan Samosir, apabila yang meninggal adalah perempuan, maka pihak hula-hula memberikan ulos saput dan ulos tujung diberikan oleh tulangnya kepada suami yang ditinggal. Dan apabila yang meninggal adalah laki-laki, maka yang memberikan ulos saput adalah tulang, dan yang memberikan tujung kepada istri yang ditinggal adalah hula-hula.

Dan pendapat yang kedua, yakni adat Toba Holbung: apabila yang meninggal adalah perempuan, tulang rorobot akan memberikan ulos saput, dan suami yang ditinggal akan diberikan ulos tujung oleh hula-hula. Dan apabila yang meninggal adalah laki-laki, maka yang memberikan ulos saput adalah tulang, dan ulos tujung diberikan oleh hula-hula kepada istri yang ditinggalkan.

Untuk mempermudah pemahaman, tabel di bawah ini akan membantu:

a.     Adat Humbang, Samosir, dan Silindung 

Yang Meninggal

Pemberi Ulos Saput

Pemberi Ulos Tujung

Ibu/nenek

Hula-hula

Tulang

Bapak/kakek

tulang

Hula-hula


                   b.     Adat Toba Holbung 

Yang Meninggal

Pemberi Ulos Saput

Pemberi Ulos Tujung

Ibu/nenek

Tulang Rorobot

Hula-hula

Bapak/kakek

tulang

Hula-hula

 

4.     Ulos Sampetua

Ulos sampetua adalah ulos yang diberikan kepada suami/istri yang ditinggal pasangannya, apabila mereka sudah tergolong sarimatua[7], saurmatua[8], dan saurmatua bulung[9]. Hal ini juga mengandaikan mereka sudah tua, sehingga tidak memungkinkan lagi untuk menikah. Ulos sampetua ini tidak dikerudungkan di kepala, melainkan digelar (diuloshon) di pundak (abara). Hal ini menjadi simbol yang memiliki makna bahwa kematian suami atau istri yang sudah berumur lanjut dan bercucu bahkan bercicit begitu, tidak lagi sebagai duka cita yang mendalam. Selain itu, diberikannya ulos sampetua kepada pasangan yang ditinggal mati, tidak lagi menerima atau mencari pasangan atau tidak akan kawin lagi sampai akhir hayatnya. Sampetua, secara harfiah berarti, sampailah menjadi tua. Tua di sini juga berarti memiliki umur panjang dan diberkati Tuhan. Maka ulos sampetua memiliki arti bahwa semoga yang ditinggal memiliki umur yang Panjang dan dalam keadaan sehat walafiat.

Terkait siapa yang memberikan ulos ini, pada prinsipnya berlaku seperti pemberian ulos tujung pada penjelasan di atas.

5.     Ulos Holong

            Selain ulos saput dan ulos tujung/sampetua, di acara adat untuk yang meninggal sarimatua, dan saurmatua, dan saurmatua bulung ada lagi ulos, yaitu ulos holong. Secara harfiah, ulos holong berarti ulos kasih, yang berarti sebagai simbol kasih dari pihak tulang dan hula-hula. Mengenai penerima dan pemberi ulos holong ini, ada berbagai pendapat. Untuk penerima, ada kalanya diterima oleh anak laki-laki tertua sebagai perwakilan. Ada kalanya diberi dua, satu untuk anak laki-laki yang tertua dan satu lagi untuk anak perempuan yang diwakili yang tertua. Selain itu, ada juga pendapat bahwa penerima ulos ini bukan kepada anak, tetapi diletakkan di atas peti jenazah.

 

Sumber Bacaan

Sinaga, Richard. Meninggal: Adat Dalihan Natolu. Jakarta: Dian Utama, 1999.



[1] Dalihan Na Tolu menjadi kerangka hubungan kekerabatan darah dan perkawinan yang mempertalikan kelompok. Istilah Dalihan Na Tolu mempunyai arti tungku berkaki tiga. Ini menunjukkan tiga kedudukan fungsional sebagai konstruksi social yang terdiri atas tiga hal yang menjadi dasar bersama.

[2] Dongan tubu adalah kelompok orang-orang yang posisinya “sejajar”, yaitu: teman/saudara semarga.  

[3] Hula-hula adalah kelompok marga istri, kelompok marga ibu (istri bapak), kelompok marga nenek, dan beberapa generasi kelompok marga istri anak, kelompok istri cucu, kelompok istri saudara dan seterusnya dari kelompok dongan tubu.

[4] Boru adalah anak perempuan, atau kelompok marga yang mengambil istri dari anak perempuan.

[5] Tulang adalah kelompok marga dari ibu, yang dalam bahasa Indonesia disebut paman.

[6] Tulang rorobot adalah kelompok marga dari nenek; atau kelompok marga dari tulang dari ibu.

[7] Sarimatua adalah status seseorang meninggal ketika dia sudah memiliki cucu tetapi belum semua anaknya menikah.

[8] Saurmatua adalah status seseorang yang sudah meninggal ketika sudah memiliki cucu dari semua anaknya atau paling tidak memiliki cucu dari anaknya laki-laki dan anaknya perempuan.

[9] Saurmatua bulung adalah status seseorang yang sudah meninggal ketika semua anaknya sudah menikah dan bahkan anaknya tersebut sudah memiliki cucu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Filsafat Pengetahuan dalam Kehidupan Sehari-hari

              Filsafat pengetahuan adalah satu dari beberapa cabang ilmu filsafat yang secara lebih mendalam membahas tentang manusia dan ...