Dunia dewasa ini sedang menghadapi
fenomena di mana manusia mulai kehilangan kepekaan akan dimensi rohani dari
dosa dan cenderung meniadakan dosa dan tidak mau tahu akan dosa. Dosa sering
dipandang secara dangkal dan tidak lengkap. Sejumlah orang suka membatasi
masalah dosa hingga pada pelanggaran-pelanggaran sosial yang menyakiti dan
melukai sesama. Manusia sering berkembang menjadi keras kepala dan tidak taat
pada hukum Allah. Manusia sudah tidak percaya dan tidak mencintai Allah,
padahal kehidupan manusia pada prinsipnya tergantung penuh pada cinta kasih
Allah. Pertobatan dan sakramen rekonsiliasi sudah mulai ditinggalkan. Malah, dari sudut psikologi, kedalaman dosa
dipandang sebagai penolakan untuk menerima diri sebenarnya. Untuk itulah,
penulis merasa penting untuk menjelaskan “Dosa” dalam pandangan Teologi Moral
dalam kaitannya dengan rahmat dan kerahiman Allah yang selalu tercurah dalam
diri manusia pendosa.
Dosa
di Hadapan Allah
Pada pembahasan ini, kata ‘dosa’
hendak mengungkapkan hubungan antara Allah dan manusia, yaitu hubungan rahmat
dan iman. Kata ‘dosa’ dipakai sebagai istilah teologis, yang bicara mengenai
hubungan antara Allah yang dalam Kristus mendatangkan kerajaan-Nya bagi
manusia, dan manusia, yang ditebus dalam wafat dan kebangkitan Kristus.[1] Orang beriman berhubungan
dengan Allah, karena Allah telah memanggil manusia dan karena manusia diterima
oleh Allah dalam Kristus yang telah diserahkan karena pelanggaran manusia dan
dibangkitkan demi manusia (bdk. Rm 4:25). Maka teologi tentang dosa tidak
menerangkan perbuatan salah manusia melainkan menerangkan hubungan manusia
dengan Allah. Karena dosa manusia, Yesus Kristus “harus menderita semuanya itu
untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya” (bdk. Luk 24:26). Maka teologi tentang dosa
bertolak dari apa yang dibuat karena Allah, yang dalam Yesus Kristus telah
membangkitkan orang yang mati karena dosa. Dengan kata lain, teologi moral
tentang dosa adalah lanjutan teologi tentang Kristus dan tentang penebusan-Nya.
Teologi tentang dosa mesti praktis.
Namun hal itu tidak berarti bahwa teologi tentang dosa dan tobat harus
memperbaiki moral orang. Teologi tentang dosa mau menjelaskan bagaimana orang
dapat beriman jika dalam dosa ia telah menolak relasinya dengan Allah.
Sebagaimana setiap relasi, demikian pula relasi manusia dengan Allah baru
terwujud jika kedua belah pihak melibatkan diri penuh kemerdekaan. Iman sebagai
relasi manusia dengan Allah seluruhnya adalah rahmat. Allah melibatkan diri,
dan pemberian diri Allah sampai pada manusia sedemikian rupa sehingga ia mampu
untuk memberi jawabannya (ketaatan iman) dari sepenuh hatinya. Maka iman
sekaligus adalah otonom, yaitu seluruhnya dari kebebasan manusia. [2] Iman adalah pengalaman manusia terwujud dalam
perbuatannya. Demikian pula dosa adalah pengalaman manusia yang mengambil sikap
terhadap Allah: terwujud dalam perbuatan moral. Tanpa perbuatan itu tidak ada
dosa.
Dosa
dalam Kitab Suci: Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
Dalam kitab Kejadian, dosa
digambarkan sebagai suatu pemberontakan terhadap kehendak Allah. [3] Hal itu merupakan tindakan sengaja yang
menyebabkan rusaknya hubungan dengan Allah. Adam dan Hawa, yang diciptakan
menurut citra Allah dan yang diberikan kehendak bebas, ingin menjadi serupa
dengan Allah untuk memutuskan sendiri apa yang baik dan benar. Mereka masuk ke
dalam godaan dan memakan buah terlarang dari pohon pengetahuan tentang yang
baik dan buruk (bdk. Kej 2:17). Tiba-tiba mata mereka terbuka dan melihat
ketelanjangan mereka dan malu sehingga mereka bersembunyi dari Allah. Ketika
Allah mempertanyakan ketidaktaatan mereka, Adam justru membenarkan diri dengan
menyalahkan Hawa dan Allah sendiri yang telah memberinya dengan berkata,
“Perempuan yang telah Kauberi itu sendiri yang memberiku buah sehingga aku
memakannya” (Kej 3:12).[4] Kegagalan mereka yang
disengaja untuk mendengarkan sabda Allah menyebabkan rusaknya segala hubungan
di antara mereka: pertama-tama terhadap Allah, kemudian kepada diri mereka
sendiri karena terbukti dengan merasakan telanjang dan malu, kepada sesama
seperti Adam menuduh kesalahan Hawa, dan kepada alam ciptaan sendiri karena
mereka sekarang harus bekerja keras untuk mendapatkan hasil dari bumi untuk
dimakan.
Dari Perjanjian Lama, dapat
dipelajari bahwa konsep dosa juga merupakan konsekuensi dari tindakan, yaitu
sebagai ketidakserasian jiwa. Dosa dalam Kitab Suci merupakan sebuah tindakan
yang dimulai dengan konsep kejahatan dalam hati, kemudian berkembang menjadi
sebuah tindakan nyata, dan oleh karena dosa dan konsekuensinya secara serentak,
pasti akan berakhir dengan kehancuran.[5] Perjanjian lama secara
singkat hendak mengatakan bahwa esensi dosa adalah penolakan untuk mencintai
Allah yang membawa serta penyimpangan hati manusia. Ketika manusia berpaling
dari Allah, itu berarti manusia sendiri menolak kebenaran dalam dirinya.
Dalam Perjanjian Baru, dosa
dipandang sebagai penolakan akan kerajaan Allah. Secara lebih khusus, dosa
merupakan penolakan akan Yesus Kristus yang mewujud sebagai kerajaan Allah itu
sendiri dan kebenaran manusia (bdk. Mat 10:33). Dosa merupakan sebuah penolakan
untuk bertobat dan percaya, sebuah penolakan untuk hidup dengan mengandalkan
kekuatan Allah, kekuatan Kristus yang dicurahkan kepada kita dalam misteri paskah-Nya
(bdk. Yoh 16:9). Dosa juga merupakan sebuah penolakan akan cinta, sebuah
keengganan untuk bertahan dalam hubungan (bdk. 1Yoh 4:15-16).[6] Seluruh Perjanjian Baru
tidak pernah memandang dosa dalam pemikiran legalistik sebagai bentuk kekerasan
dari berbagai aturan yang abstrak belaka. Penulis Perjanjian Baru selalu
menghadirkan dosa dalam konteks keselamatan dan pendamaian manusia di dalam
Yesus Kristus, yang adalah Kebenaran dan Terang.[7]
Dosa
dan Opsi Fundamental
Dosa dan opsi fundamental adalah dua
hal yang tidak dapat dipisahkan. Wujud dosa sebenarnya adalah kematian opsi
fundamental manusia secara diam-diam. Kemudian dosa ini dihubungkan dengan
tindakan individu tertentu. Opsi ini akan mati kalau tidak mendapat ‘gizi’ yang
memadai, berupa pandangan dan tindakan positif dalam hidup sehari-hari.
Pentingnya peran opsi fundamental dalam meneropong dan membahas fenomena dosa
sulit disangkal, sebab opsi ini pada hakikatnya mencerminkan tatanan batiniah
seseorang sebelum mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu. [8] Seringkali, manusia modern
melupakan peran opsi fundamental dalam pembicaraan tentang dosa, seakan-akan
dosa begitu saja turun dari langit.
Pembahasan tentang dosa berat selalu
dikaitkan dengan opsi ini. Kematian opsi ini terpaut dengan kejadian dosa
berat, sebab dosa pada dasarnya menghancurkan opsi fundamental manusia dalam
hal yang baik dan pelayanan akan cinta Tuhan dan sesama. Hakikat dosa berat
mengandung perusakan dan penghancuran opsi fundamental secara lamban dan
diam-diam. Penghancuran ini menimbulkan penolakan terhadap iman.[9] Dalam konteks ini, opsi
mengalami penurunan derajatnya dalam menentukan proyek hidup seseorang.
Penutup
Dosa hanya mungkin terjadi dalam rangka sejarah keselamatan. Dalam Kristus, Allah menyatakan kasih-Nya penuh kerahiman, dan biarpun manusia menolak tawaran Allah itu, kerahiman Allah yang ditolak itu tetap merangkum seluruh hidup manusia. Maka dosa manusia sebenarnya tidak memutuskan hubungan dengan Allah, melainkan menolaknya. Dan rahmat Allah menjadi bagaikan pengadilan dan hukuman bagi orang pendosa. Orang yang senyatanya dan terang-terangan hidup sebagai ateis, yaitu orang yang terang-terangan tidak mau berhubungan dengan Allah, tetap saja mungkin hidup sebagai orang baik dari sudut pandangan moral. Maka dosa sebagai hubungan manusia dengan Allah tidak dapat diukur menurut baik jahatnya perbuatan moral. Dosa adalah pertama-tama peristiwa rahmat, yaitu peristiwa rahmat Allah yang ditolak oleh manusia.
Tidak seorang pun yang dapat memisahkan manusia dari Tuhan dan sesamanya. Dosa lahir dari perbuatan dan peristiwa manusia, sebagai buah keputusan bebas dan radikal manusia. Dosa manusia mendapat wujudnya dalam perbuatan sadar dan bebas. Agar dapat mengambil sikap melawan hubungan dengan Allah, orang mesti mempunyai kebebasan. Merupakan tugas setiap manusia untuk mewujudkan dirinya di dalam kebebasan. Dosa manusia tak hanya melibatkan tindak ketertutupan diri seseorang dalam menghadapi masalah keberadaan yang memaksa. Namun dosa berupa penolakan tawaran rahmat Tuhan sendiri. Di sinilah letak kodrat dosa. Ini menjadi suatu penolakan personal dan aktual akan perkataan Tuhan dalam kedalaman pribadi rohani.
Daftar
Pustaka
Berlejung, Angelika, “Sin and Punishment:
The Ethics of Divine Justice and Retribution in Ancient Near Eastern and Old
Testament Texts”, dalam Interpretation: A Journal of Bible and Theology, Vol
69/3 (2015), hlm. 272-287.
Chang,
William. Pengantar Teologi Moral. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Kieser, Bernhard. Moral Dasar: Kaitan
Iman dan Perbuatan. Yogyakarta: Kanisius, 1987.
[1] Bernhard Kieser, Moral Dasar:
Kaitan Iman dan Perbuatan (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 252.
[2] Bernhard Kieser, Moral Dasar,
…hlm. 253-254.
[3] Angelika
Berlejung, “Sin and Punishment: The Ethics of Divine Justice and Retribution in
Ancient Near Eastern and Old Testament Texts”, dalam Interpretation: A
Journal of Bible and Theology, Vol 69/3 (2015), hlm. 272.
[4] William Chang, Pengantar
Teologi Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 163.
[5] Angelika
Berlejung, “Sin and Punishment, … hlm. 272.
[6] William Chang, Pengantar
Teologi Moral,…hlm. 165.
[7] William Chang, Pengantar
Teologi Moral,…hlm. 166.
[8] William Chang, Pengantar Teologi
Moral,…hlm. 176.
[9] William Chang, Pengantar
Teologi Moral,…hlm. 175.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar