Minggu, 05 Desember 2021

Dosa Manusia dan Rahmat Allah

Pengantar

        Dunia dewasa ini sedang menghadapi fenomena di mana manusia mulai kehilangan kepekaan akan dimensi rohani dari dosa dan cenderung meniadakan dosa dan tidak mau tahu akan dosa. Dosa sering dipandang secara dangkal dan tidak lengkap. Sejumlah orang suka membatasi masalah dosa hingga pada pelanggaran-pelanggaran sosial yang menyakiti dan melukai sesama. Manusia sering berkembang menjadi keras kepala dan tidak taat pada hukum Allah. Manusia sudah tidak percaya dan tidak mencintai Allah, padahal kehidupan manusia pada prinsipnya tergantung penuh pada cinta kasih Allah. Pertobatan dan sakramen rekonsiliasi sudah mulai ditinggalkan.  Malah, dari sudut psikologi, kedalaman dosa dipandang sebagai penolakan untuk menerima diri sebenarnya. Untuk itulah, penulis merasa penting untuk menjelaskan “Dosa” dalam pandangan Teologi Moral dalam kaitannya dengan rahmat dan kerahiman Allah yang selalu tercurah dalam diri manusia pendosa.

Dosa di Hadapan Allah

        Pada pembahasan ini, kata ‘dosa’ hendak mengungkapkan hubungan antara Allah dan manusia, yaitu hubungan rahmat dan iman. Kata ‘dosa’ dipakai sebagai istilah teologis, yang bicara mengenai hubungan antara Allah yang dalam Kristus mendatangkan kerajaan-Nya bagi manusia, dan manusia, yang ditebus dalam wafat dan kebangkitan Kristus.[1] Orang beriman berhubungan dengan Allah, karena Allah telah memanggil manusia dan karena manusia diterima oleh Allah dalam Kristus yang telah diserahkan karena pelanggaran manusia dan dibangkitkan demi manusia (bdk. Rm 4:25). Maka teologi tentang dosa tidak menerangkan perbuatan salah manusia melainkan menerangkan hubungan manusia dengan Allah. Karena dosa manusia, Yesus Kristus “harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya” (bdk. Luk 24:26). Maka teologi tentang dosa bertolak dari apa yang dibuat karena Allah, yang dalam Yesus Kristus telah membangkitkan orang yang mati karena dosa. Dengan kata lain, teologi moral tentang dosa adalah lanjutan teologi tentang Kristus dan tentang penebusan-Nya.

        Teologi tentang dosa mesti praktis. Namun hal itu tidak berarti bahwa teologi tentang dosa dan tobat harus memperbaiki moral orang. Teologi tentang dosa mau menjelaskan bagaimana orang dapat beriman jika dalam dosa ia telah menolak relasinya dengan Allah. Sebagaimana setiap relasi, demikian pula relasi manusia dengan Allah baru terwujud jika kedua belah pihak melibatkan diri penuh kemerdekaan. Iman sebagai relasi manusia dengan Allah seluruhnya adalah rahmat. Allah melibatkan diri, dan pemberian diri Allah sampai pada manusia sedemikian rupa sehingga ia mampu untuk memberi jawabannya (ketaatan iman) dari sepenuh hatinya. Maka iman sekaligus adalah otonom, yaitu seluruhnya dari kebebasan manusia. [2]  Iman adalah pengalaman manusia terwujud dalam perbuatannya. Demikian pula dosa adalah pengalaman manusia yang mengambil sikap terhadap Allah: terwujud dalam perbuatan moral. Tanpa perbuatan itu tidak ada dosa.

Dosa dalam Kitab Suci: Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

        Dalam kitab Kejadian, dosa digambarkan sebagai suatu pemberontakan terhadap kehendak Allah. [3]  Hal itu merupakan tindakan sengaja yang menyebabkan rusaknya hubungan dengan Allah. Adam dan Hawa, yang diciptakan menurut citra Allah dan yang diberikan kehendak bebas, ingin menjadi serupa dengan Allah untuk memutuskan sendiri apa yang baik dan benar. Mereka masuk ke dalam godaan dan memakan buah terlarang dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan buruk (bdk. Kej 2:17). Tiba-tiba mata mereka terbuka dan melihat ketelanjangan mereka dan malu sehingga mereka bersembunyi dari Allah. Ketika Allah mempertanyakan ketidaktaatan mereka, Adam justru membenarkan diri dengan menyalahkan Hawa dan Allah sendiri yang telah memberinya dengan berkata, “Perempuan yang telah Kauberi itu sendiri yang memberiku buah sehingga aku memakannya” (Kej 3:12).[4] Kegagalan mereka yang disengaja untuk mendengarkan sabda Allah menyebabkan rusaknya segala hubungan di antara mereka: pertama-tama terhadap Allah, kemudian kepada diri mereka sendiri karena terbukti dengan merasakan telanjang dan malu, kepada sesama seperti Adam menuduh kesalahan Hawa, dan kepada alam ciptaan sendiri karena mereka sekarang harus bekerja keras untuk mendapatkan hasil dari bumi untuk dimakan.

        Dari Perjanjian Lama, dapat dipelajari bahwa konsep dosa juga merupakan konsekuensi dari tindakan, yaitu sebagai ketidakserasian jiwa. Dosa dalam Kitab Suci merupakan sebuah tindakan yang dimulai dengan konsep kejahatan dalam hati, kemudian berkembang menjadi sebuah tindakan nyata, dan oleh karena dosa dan konsekuensinya secara serentak, pasti akan berakhir dengan kehancuran.[5] Perjanjian lama secara singkat hendak mengatakan bahwa esensi dosa adalah penolakan untuk mencintai Allah yang membawa serta penyimpangan hati manusia. Ketika manusia berpaling dari Allah, itu berarti manusia sendiri menolak kebenaran dalam dirinya.

        Dalam Perjanjian Baru, dosa dipandang sebagai penolakan akan kerajaan Allah. Secara lebih khusus, dosa merupakan penolakan akan Yesus Kristus yang mewujud sebagai kerajaan Allah itu sendiri dan kebenaran manusia (bdk. Mat 10:33). Dosa merupakan sebuah penolakan untuk bertobat dan percaya, sebuah penolakan untuk hidup dengan mengandalkan kekuatan Allah, kekuatan Kristus yang dicurahkan kepada kita dalam misteri paskah-Nya (bdk. Yoh 16:9). Dosa juga merupakan sebuah penolakan akan cinta, sebuah keengganan untuk bertahan dalam hubungan (bdk. 1Yoh 4:15-16).[6] Seluruh Perjanjian Baru tidak pernah memandang dosa dalam pemikiran legalistik sebagai bentuk kekerasan dari berbagai aturan yang abstrak belaka. Penulis Perjanjian Baru selalu menghadirkan dosa dalam konteks keselamatan dan pendamaian manusia di dalam Yesus Kristus, yang adalah Kebenaran dan Terang.[7]

Dosa dan Opsi Fundamental

        Dosa dan opsi fundamental adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Wujud dosa sebenarnya adalah kematian opsi fundamental manusia secara diam-diam. Kemudian dosa ini dihubungkan dengan tindakan individu tertentu. Opsi ini akan mati kalau tidak mendapat ‘gizi’ yang memadai, berupa pandangan dan tindakan positif dalam hidup sehari-hari. Pentingnya peran opsi fundamental dalam meneropong dan membahas fenomena dosa sulit disangkal, sebab opsi ini pada hakikatnya mencerminkan tatanan batiniah seseorang sebelum mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu. [8] Seringkali, manusia modern melupakan peran opsi fundamental dalam pembicaraan tentang dosa, seakan-akan dosa begitu saja turun dari langit.

        Pembahasan tentang dosa berat selalu dikaitkan dengan opsi ini. Kematian opsi ini terpaut dengan kejadian dosa berat, sebab dosa pada dasarnya menghancurkan opsi fundamental manusia dalam hal yang baik dan pelayanan akan cinta Tuhan dan sesama. Hakikat dosa berat mengandung perusakan dan penghancuran opsi fundamental secara lamban dan diam-diam. Penghancuran ini menimbulkan penolakan terhadap iman.[9] Dalam konteks ini, opsi mengalami penurunan derajatnya dalam menentukan proyek hidup seseorang.

Penutup

        Dosa hanya mungkin terjadi dalam rangka sejarah keselamatan. Dalam Kristus, Allah menyatakan kasih-Nya penuh kerahiman, dan biarpun manusia menolak tawaran Allah itu, kerahiman Allah yang ditolak itu tetap merangkum seluruh hidup manusia. Maka dosa manusia sebenarnya tidak memutuskan hubungan dengan Allah, melainkan menolaknya. Dan rahmat Allah menjadi bagaikan pengadilan dan hukuman bagi orang pendosa. Orang yang senyatanya dan terang-terangan hidup sebagai ateis, yaitu orang yang terang-terangan tidak mau berhubungan dengan Allah, tetap saja mungkin hidup sebagai orang baik dari sudut pandangan moral. Maka dosa sebagai hubungan manusia dengan Allah tidak dapat diukur menurut baik jahatnya perbuatan moral. Dosa adalah pertama-tama peristiwa rahmat, yaitu peristiwa rahmat Allah yang ditolak oleh manusia.

        Tidak seorang pun yang dapat memisahkan manusia dari Tuhan dan sesamanya. Dosa lahir dari perbuatan dan peristiwa manusia, sebagai buah keputusan bebas dan radikal manusia. Dosa manusia mendapat wujudnya dalam perbuatan sadar dan bebas. Agar dapat mengambil sikap melawan hubungan dengan Allah, orang mesti mempunyai kebebasan. Merupakan tugas setiap manusia untuk mewujudkan dirinya di dalam kebebasan. Dosa manusia tak hanya melibatkan tindak ketertutupan diri seseorang dalam menghadapi masalah keberadaan yang memaksa. Namun dosa berupa penolakan tawaran rahmat Tuhan sendiri. Di sinilah letak kodrat dosa. Ini menjadi suatu penolakan personal dan aktual akan perkataan Tuhan dalam kedalaman pribadi rohani.

 

Daftar Pustaka

Berlejung, Angelika, “Sin and Punishment: The Ethics of Divine Justice and Retribution in Ancient Near Eastern and Old Testament Texts”, dalam Interpretation: A Journal of Bible and Theology, Vol 69/3 (2015), hlm. 272-287.

Chang, William. Pengantar Teologi Moral. Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Kieser, Bernhard. Moral Dasar: Kaitan Iman dan Perbuatan. Yogyakarta: Kanisius, 1987.



[1] Bernhard Kieser, Moral Dasar: Kaitan Iman dan Perbuatan (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 252.

[2] Bernhard Kieser, Moral Dasar, …hlm. 253-254.

[3] Angelika Berlejung, “Sin and Punishment: The Ethics of Divine Justice and Retribution in Ancient Near Eastern and Old Testament Texts”, dalam Interpretation: A Journal of Bible and Theology, Vol 69/3 (2015), hlm. 272.

[4] William Chang, Pengantar Teologi Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 163.

[5] Angelika Berlejung, “Sin and Punishment, … hlm. 272.

[6] William Chang, Pengantar Teologi Moral,…hlm. 165.

[7] William Chang, Pengantar Teologi Moral,…hlm. 166.

[8] William Chang, Pengantar Teologi Moral,…hlm. 176.

[9] William Chang, Pengantar Teologi Moral,…hlm. 175.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Filsafat Pengetahuan dalam Kehidupan Sehari-hari

              Filsafat pengetahuan adalah satu dari beberapa cabang ilmu filsafat yang secara lebih mendalam membahas tentang manusia dan ...