1.
Tesis
Bahwa Allah itu Ada adalah kebenaran yang mutlak dan bahwa dunia Ada adalah suatu fakta yang benar. Pertanyaan yang paling sulit yang dicoba dipecahkan oleh manusia adalah: bagaimana hubungan antara Allah dan dunia? Filsafat kosmologi dalam teori emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana proses dunia ini tercipta. Sebagai Filsuf Muslim, ia berusaha mendamaikan iman Islam dengan filsafat.
2.
Argumentasi
a. Konsep
Emanasi al-Farabi
Emanasi adalah salah satu
pemikiran al-Farabi berkaitan dengan realitas wujud (ontologi). Menurut al-Farabi,
seluruh realitas yang ada ini, baik materi maupun spiritual, berasal dari Yang
Pertama atau Sebab Pertama melalui pancaran seperti layaknya sinar keluar dari
matahari atau panas muncul dari api. Pancaran ini memunculkan wujud-wujud
secara berurutan dan hirarkis. Maksudnya, wujud-wujud yang muncul tersebut
tidak berada pada derajat yang sama melainkan bertingkat-tingkat secara
hirarkis.[1]
Al-Farabi menjelaskan segala
sesuatu yang beremanasi dari Wujud Pertama dalam suatu cara yang sangat sistematik.
Dalam proses pelimpahan tersebut, Yang Pertama tidak memerlukan adanya
perantara. Tidak juga ada suatu penghalang yang mampu menghambat proses ini,
baik internal maupun eksternal.[2]
Pancaran pertama dari
Wujud Pertama adalah intelek atau Akal Pertama yang mampu memikirkan penciptanya
dan dirinya sendiri. Akal Pertama yang berpikir tentang penciptanya menghasilkan
Akal Kedua, sedangkan pemikiran tentang dirinya menghasilkan langit pertama.
Seperti halnya Akal Pertama, Akal Kedua memikirkan penciptanya dan menghasilkan
Akal Ketiga, dan memikirkan dirinya sendiri dan menghasilkan bintang-bintang. Proses
ini terus berlanjut yang kemudian memunculkan Akal Keempat, Kelima, Keenam,
Ketujuh, Kedelapan, Kesembilan, dan Kesepuluh, dan juga melahirkan bola langit
yang sepadan, yaitu Saturnus, Jupiter, Mars, Matahari, Venus, dan Merkurius.
Akhirnya ditutup dengan yang kesepuluh dalam memahami dirinya sendiri yaitu menimbulkan
bulan.[3]
Sampai Akal Kesepuluh, berhentilah proses emanasi akal. Tetapi, dari Akal Kesepuluh ini muncul materi dasar, empat unsur mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia yang menempati tempat teratas dalam hierarki wujud di bawah bulan. Akal Kesepuluh ini disebut juga Akal Aktif. Al-Farabi mengidentifikasi Akal Aktif dengan Malaikat Jibril atau malaikat pembawa wahyu Ilahi. Akal Aktif adalah perantara transenden antara Tuhan dan manusia.[4] Fungsi Akal Aktif adalah untuk melindungi manusia dan berusaha agar manusia dapat mencapai tingkat kesempurnaan tertinggi yaitu kebahagiaan tertinggi, yaitu agar manusia sampai pada tingkat Akal Aktif. Akal Aktif juga harus disebut sebagai roh pelindung atau roh yang suci.[5]
b. Emanasi:
Perbandingan antara Plotinus dengan al-Farabi
Konsep emanasi yang
dikembangkan al-Farabi diambil dari ide emanasi Plotinus dan dipadukan dengan
pemikiran Aristoteles tentang sebab pertama, ide-ide abadi Plato, dan teori
kosmos Ptolomeus. Dalam teori emanasinya, Plotinus menjelaskan bagaimana
Yang Satu mengalirkan kelimpahannya sehingga muncul jagad raya yang sekarang
ini. Karena itu, alam semesta dengan segala isinya merupakan wujud kekal
dan sejak awal telah ada secara terpendam di dalam Yang Ilahi. [6]
Proses emanasi Plotinus
dibedakan dalam tiga tahap, yakni: 1) dari Yang Esa, keluar Akal Budi (nous)
yang dapat disejajarkan dengan ide-ide Plato. Apa aktivitas Akal Budi?
Plotinus menjawab, aktivitas Akal Budi yaitu memikirkan dirinya sendiri. Dengan
demikian, sekaligus dinyatakan bahwa Akal Budi tidak bersifat satu lagi sebab
di dalam dirinya sekarang ada dualitas, yaitu yang memikirkan dan yang
dipikirkan; 2) Selanjutnya, dari Akal Budi, muncul Jiwa (psyche) yang
terdiri atas Jiwa Dunia dan Jiwa tiap-tiap individu. Jiwa Dunia menjamin keselarasan
dalam kosmos, sedangkan Jiwa tiap-tiap individu bersatu dengan materi; 3)
Dengan demikian, dari persatuan Jiwa dengan materi (hyle), muncul jagad
raya. Sebagai bagian terjauh dalam proses emanasi Yang Esa, materi adalah
bagian penciptaan yang paling kurang kesempurnaannya, paling buruk, dan sumber
segala kejahatan yang disebutnya dengan unsur kegelapan.[7]
Apabila disimak lebih jauh, akan ditemukan perbedaan prinsip antara emanasi Plotinus dan al-Farabi. Menurut Plotinus alam bukan diciptakan tetapi dipancarkan atau melimpah dari Yang Satu, yang kemudian melahirkan paham panteisme (segala sesuatu sama dengan Allah dan Allah sama dengan segala sesuatu). Selain itu, teori emanasi Plotinus juga mengindikasikan bahwa Yang Satu bersifat pasif dan alam bersifat aktif. Sedangkan pada teori emanasi al-Farabi, penekanannya adalah bahwa Allah sebagai pencipta alam dan cara penciptaannya secara emanasi. Oleh karenanya Allah sebagai Pencipta dan alam adalah makhluk. Di antara kedua teori terdapat perbedaan yang prinsipil. Di sisi lain, al-Farabi dengan jelas menunjukkan bahwa Allah bersifat aktif, bahkan selamanya demikian, sedangkan alam bersifat pasif.[8]
c. Antara
Emanasi dengan Penciptaan
Pertanyaan yang sering
menimbulkan spekulasi adalah mengenai tujuan Yang Satu melimpahkan kesempurnaannya
sehingga mewujudkan wujud-wujud lain. Menurut al-Farabi, emanasi terjadi
tanpa ada tujuan-tujuan pribadi dari Tuhan, seperti demi kehormatan,
kenikmatan, atau kesempurnaan, karena Tuhan adalah Mahasegalanya atas diri-Nya
sendiri. Ia tidak butuh yang lain.[9]
Dengan beremanasi, Yang
Satu tidak mengalami perubahan dan emanasi tersebut tidak terjadi di dalam
ruang dan waktu. Pemikiran tentang ruang dan waktu adalah bagian yang paling
bawah dalam proses emanasi. Ruang dan waktu merupakan suatu pengertian
tentang dunia benda. Untuk menjadikan alam, soul mula-mula melimpahkan sebagian
dari kekekalan-Nya, lalu membungkusnya dengan waktu. Demikianlah kekuatan-Nya
bekerja terus, menyempurnakan alam semesta ini. Waktu bergerak terus-menerus
sehingga menghasilkan waktu lalu, sekarang, dan akan datang.[10]
Teori emanasi al-Farabi yang menjelaskan bahwa jika alam ini diciptakan dari ketiadaan (creatio ex nihilo), mengindikasikan pengertian bahwa terdapat hubungan langsung antara Allah yang Maha Esa dengan alam yang beraneka sehingga dapat mengakibatkan perubahan pada zat Allah. Dari sini kemudian, kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa alam ini dijadikan Allah dari ma’ dium yang artinya syai’un wa dzaun wa ‘ainun (sesuatu, zat dan hakekat). Singkatnya, menurut mereka alam ini telah ada lebih dulu dalam bentuk tertentu sebelum terwujud dalam kenyataan ini. Berdasarkan konsep emanasi dan kepercayaan kaum Mu’tazillah, al-Farabi menemukan relevansinya sebab ia telah membuat kesimpulan bahwa alam ini terjadi karena limpahan dari Yang Esa.[11]
3.
Kritik dan Relevansi
Menurut
hemat penulis, pemikiran al-Farabi tentang emanasi ini merupakan pemikiran yang
sangat berani pada jamannya sebab bertentangan dengan dogma Islam ortodoks
tentang penciptaan di mana Allah menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan. Pemikirannya
tentang emanasi bukanlah suatu kekeliruan atau pelanggaran atas iman Islam,
namun dia hendak berusaha mendamaikan ajaran agamanya dengan filsafat. Al-Farabi
dan teman-teman filsuf Islam lainnya juga hendak mengedepankan tentang
kekekalan alam. Dengan pemikiran yang demikian, al-Farabi menemukan titik
terang dalam masalah hubungan antara Yang Esa dengan alam yang plural. Al-Farabi
juga hendak mengemukakan bahwa benda-benda angkasa mempunyai jiwa dan sempurna
adanya.
Pemikiran
al-Farabi tentang emanasi yang sangat jelas hendak menunjukkan bahwa sarana
untuk mencapai ilmu pengetahuan tidak hanya melalui sarana eksternal dan
internal tetapi juga melalui intelek. Sarana-sarana eksternal dan internal hanya
mampu menjangkau objek-objek material. Akan tetapi intelek mampu menjangkau objek-objek
spiritual.
DAFTAR
PUSTAKA
Amirudin.
"Memahami Otentisitas Konsep Tuhan: Kajian Konsep Emanasi, Ontologi Dan
Kosmologi Filosof Muslim." Jurnal Kaca Jurusan Ushuluddin STAI AL
FITHRAH, Volume 9, Nomor 1 Februari 2019.
Bertens,
K., Johanis Ohoitimur, and Mikhael Dua. Pengantar Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius, 2018.
Fakhry,
Majid. Al-Farabi, Founder of Islamic Neoplatonism: His Life, Works and
Influence. England: One World Publications, 2002.
Hamdi,
Ahmad Zainul. Tujuh Filsuf Muslim: Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat
Modern. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004.
Jackson,
Roy. What is Islamic Philosophy? London: Routledge, 2014.
Reisman.,
Jon McGinnis and David C. Classical Arabic Philosophy: An Anthology of
Sources. Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2007.
Soleh,
H. A. Khudori. Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016.
[1] H. A. Khudori Soleh, Filsafat
Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016),
hlm. 97-98.
[2] Roy Jackson, What is Islamic
Philosophy?, (London: Routledge, 2014), hlm. 46.
[3] Majid Fakhry, Al-Farabi, Founder
of Islamic Neoplatonism: His Life, Works and Influence, (England: One World
Publications, 2002), hlm. 82-83.
[4] Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf
Muslim: Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern (Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2004), hlm. 83.
[5] Jon McGinnis and David C. Reisman, Classical
Arabic Philosophy: An Anthology of Sources, (Indianapolis: Hackett
Publishing Company, 2007), hlm. 82.
[6] H. A. Khudori Soleh, Filsafat Islam…, hlm. 101.
[7] K. Bertens, Johanis Ohoitimur, and
Mikhael Dua, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 2018), hlm. 101.
[8] Amirudin. "Memahami Otentisitas
Konsep Tuhan: Kajian Konsep Emanasi, Ontologi Dan Kosmologi Filosof
Muslim" dalam Jurnal Kaca Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH, (Volume
9, Nomor 1 Februari 2019 : 65-86), hlm. 73.
[9] H. A. Khudori Soleh, Filsafat Islam…,hlm. 99.
[10] Amirudin. "Memahami Otentisitas…, hlm. 71.
[11] Amirudin. "Memahami Otentisitas…, hlm. 74.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar