Minggu, 19 Desember 2021

FILSAFAT EMANASI AL-FARABI


1.     Tesis

Bahwa Allah itu Ada adalah kebenaran yang mutlak dan bahwa dunia Ada adalah suatu fakta yang benar. Pertanyaan yang paling sulit yang dicoba dipecahkan oleh manusia adalah: bagaimana hubungan antara Allah dan dunia? Filsafat kosmologi dalam teori emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana proses dunia ini tercipta. Sebagai Filsuf Muslim, ia berusaha mendamaikan iman Islam dengan filsafat. 

2.     Argumentasi

a.     Konsep Emanasi al-Farabi

Emanasi adalah salah satu pemikiran al-Farabi berkaitan dengan realitas wujud (ontologi). Menurut al-Farabi, seluruh realitas yang ada ini, baik materi maupun spiritual, berasal dari Yang Pertama atau Sebab Pertama melalui pancaran seperti layaknya sinar keluar dari matahari atau panas muncul dari api. Pancaran ini memunculkan wujud-wujud secara berurutan dan hirarkis. Maksudnya, wujud-wujud yang muncul tersebut tidak berada pada derajat yang sama melainkan bertingkat-tingkat secara hirarkis.[1]

Al-Farabi menjelaskan segala sesuatu yang beremanasi dari Wujud Pertama dalam suatu cara yang sangat sistematik. Dalam proses pelimpahan tersebut, Yang Pertama tidak memerlukan adanya perantara. Tidak juga ada suatu penghalang yang mampu menghambat proses ini, baik internal maupun eksternal.[2]

Pancaran pertama dari Wujud Pertama adalah intelek atau Akal Pertama yang mampu memikirkan penciptanya dan dirinya sendiri. Akal Pertama yang berpikir tentang penciptanya menghasilkan Akal Kedua, sedangkan pemikiran tentang dirinya menghasilkan langit pertama. Seperti halnya Akal Pertama, Akal Kedua memikirkan penciptanya dan menghasilkan Akal Ketiga, dan memikirkan dirinya sendiri dan menghasilkan bintang-bintang. Proses ini terus berlanjut yang kemudian memunculkan Akal Keempat, Kelima, Keenam, Ketujuh, Kedelapan, Kesembilan, dan Kesepuluh, dan juga melahirkan bola langit yang sepadan, yaitu Saturnus, Jupiter, Mars, Matahari, Venus, dan Merkurius. Akhirnya ditutup dengan yang kesepuluh dalam memahami dirinya sendiri yaitu menimbulkan bulan.[3]

Sampai Akal Kesepuluh, berhentilah proses emanasi akal. Tetapi, dari Akal Kesepuluh ini muncul materi dasar, empat unsur mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia yang menempati tempat teratas dalam hierarki wujud di bawah bulan. Akal Kesepuluh ini disebut juga Akal Aktif. Al-Farabi mengidentifikasi Akal Aktif dengan Malaikat Jibril atau malaikat pembawa wahyu Ilahi. Akal Aktif adalah perantara transenden antara Tuhan dan manusia.[4] Fungsi Akal Aktif adalah untuk melindungi manusia dan berusaha agar manusia dapat mencapai tingkat kesempurnaan tertinggi yaitu kebahagiaan tertinggi, yaitu agar manusia sampai pada tingkat Akal Aktif. Akal Aktif juga harus disebut sebagai roh pelindung atau roh yang suci.[5] 

b.     Emanasi: Perbandingan antara Plotinus dengan al-Farabi

Konsep emanasi yang dikembangkan al-Farabi diambil dari ide emanasi Plotinus dan dipadukan dengan pemikiran Aristoteles tentang sebab pertama, ide-ide abadi Plato, dan teori kosmos Ptolomeus. Dalam teori emanasinya, Plotinus menjelaskan bagaimana Yang Satu mengalirkan kelimpahannya sehingga muncul jagad raya yang sekarang ini. Karena itu, alam semesta dengan segala isinya merupakan wujud kekal dan sejak awal telah ada secara terpendam di dalam Yang Ilahi. [6]

Proses emanasi Plotinus dibedakan dalam tiga tahap, yakni: 1) dari Yang Esa, keluar Akal Budi (nous) yang dapat disejajarkan dengan ide-ide Plato. Apa aktivitas Akal Budi? Plotinus menjawab, aktivitas Akal Budi yaitu memikirkan dirinya sendiri. Dengan demikian, sekaligus dinyatakan bahwa Akal Budi tidak bersifat satu lagi sebab di dalam dirinya sekarang ada dualitas, yaitu yang memikirkan dan yang dipikirkan; 2) Selanjutnya, dari Akal Budi, muncul Jiwa (psyche) yang terdiri atas Jiwa Dunia dan Jiwa tiap-tiap individu. Jiwa Dunia menjamin keselarasan dalam kosmos, sedangkan Jiwa tiap-tiap individu bersatu dengan materi; 3) Dengan demikian, dari persatuan Jiwa dengan materi (hyle), muncul jagad raya. Sebagai bagian terjauh dalam proses emanasi Yang Esa, materi adalah bagian penciptaan yang paling kurang kesempurnaannya, paling buruk, dan sumber segala kejahatan yang disebutnya dengan unsur kegelapan.[7]

Apabila disimak lebih jauh, akan ditemukan perbedaan prinsip antara emanasi Plotinus dan al-Farabi. Menurut Plotinus alam bukan diciptakan tetapi dipancarkan atau melimpah dari Yang Satu, yang kemudian melahirkan paham panteisme (segala sesuatu sama dengan Allah dan Allah sama dengan segala sesuatu). Selain itu, teori emanasi Plotinus juga mengindikasikan bahwa Yang Satu bersifat pasif dan alam bersifat aktif. Sedangkan pada teori emanasi al-Farabi, penekanannya adalah bahwa Allah sebagai pencipta alam dan cara penciptaannya secara emanasi. Oleh karenanya Allah sebagai Pencipta dan alam adalah makhluk. Di antara kedua teori terdapat perbedaan yang prinsipil. Di sisi lain, al-Farabi dengan jelas menunjukkan bahwa Allah bersifat aktif, bahkan selamanya demikian, sedangkan alam bersifat pasif.[8] 

c.     Antara Emanasi dengan Penciptaan

Pertanyaan yang sering menimbulkan spekulasi adalah mengenai tujuan Yang Satu melimpahkan kesempurnaannya sehingga mewujudkan wujud-wujud lain. Menurut al-Farabi, emanasi terjadi tanpa ada tujuan-tujuan pribadi dari Tuhan, seperti demi kehormatan, kenikmatan, atau kesempurnaan, karena Tuhan adalah Mahasegalanya atas diri-Nya sendiri. Ia tidak butuh yang lain.[9]

Dengan beremanasi, Yang Satu tidak mengalami perubahan dan emanasi tersebut tidak terjadi di dalam ruang dan waktu. Pemikiran tentang ruang dan waktu adalah bagian yang paling bawah dalam proses emanasi. Ruang dan waktu merupakan suatu pengertian tentang dunia benda. Untuk menjadikan alam, soul mula-mula melimpahkan sebagian dari kekekalan-Nya, lalu membungkusnya dengan waktu. Demikianlah kekuatan-Nya bekerja terus, menyempurnakan alam semesta ini. Waktu bergerak terus-menerus sehingga menghasilkan waktu lalu, sekarang, dan akan datang.[10]

Teori emanasi al-Farabi yang menjelaskan bahwa jika alam ini diciptakan dari ketiadaan (creatio ex nihilo), mengindikasikan pengertian bahwa terdapat hubungan langsung antara Allah yang Maha Esa dengan alam yang beraneka sehingga dapat mengakibatkan perubahan pada zat Allah. Dari sini kemudian, kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa alam ini dijadikan Allah dari ma’ dium yang artinya syai’un wa dzaun wa ‘ainun (sesuatu, zat dan hakekat). Singkatnya, menurut mereka alam ini telah ada lebih dulu dalam bentuk tertentu sebelum terwujud dalam kenyataan ini. Berdasarkan konsep emanasi dan kepercayaan kaum Mu’tazillah, al-Farabi menemukan relevansinya sebab ia telah membuat kesimpulan bahwa alam ini terjadi karena limpahan dari Yang Esa.[11] 

3.     Kritik dan Relevansi

Menurut hemat penulis, pemikiran al-Farabi tentang emanasi ini merupakan pemikiran yang sangat berani pada jamannya sebab bertentangan dengan dogma Islam ortodoks tentang penciptaan di mana Allah menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan. Pemikirannya tentang emanasi bukanlah suatu kekeliruan atau pelanggaran atas iman Islam, namun dia hendak berusaha mendamaikan ajaran agamanya dengan filsafat. Al-Farabi dan teman-teman filsuf Islam lainnya juga hendak mengedepankan tentang kekekalan alam. Dengan pemikiran yang demikian, al-Farabi menemukan titik terang dalam masalah hubungan antara Yang Esa dengan alam yang plural. Al-Farabi juga hendak mengemukakan bahwa benda-benda angkasa mempunyai jiwa dan sempurna adanya.

Pemikiran al-Farabi tentang emanasi yang sangat jelas hendak menunjukkan bahwa sarana untuk mencapai ilmu pengetahuan tidak hanya melalui sarana eksternal dan internal tetapi juga melalui intelek. Sarana-sarana eksternal dan internal hanya mampu menjangkau objek-objek material. Akan tetapi intelek mampu menjangkau objek-objek spiritual.

 

DAFTAR PUSTAKA

Amirudin. "Memahami Otentisitas Konsep Tuhan: Kajian Konsep Emanasi, Ontologi Dan Kosmologi Filosof Muslim." Jurnal Kaca Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH, Volume 9, Nomor 1 Februari 2019.

Bertens, K., Johanis Ohoitimur, and Mikhael Dua. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2018.

Fakhry, Majid. Al-Farabi, Founder of Islamic Neoplatonism: His Life, Works and Influence. England: One World Publications, 2002.

Hamdi, Ahmad Zainul. Tujuh Filsuf Muslim: Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004.

Jackson, Roy. What is Islamic Philosophy? London: Routledge, 2014.

Reisman., Jon McGinnis and David C. Classical Arabic Philosophy: An Anthology of Sources. Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2007.

Soleh, H. A. Khudori. Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016.

 


[1] H. A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), hlm. 97-98.

[2] Roy Jackson, What is Islamic Philosophy?, (London: Routledge, 2014), hlm. 46.

[3] Majid Fakhry, Al-Farabi, Founder of Islamic Neoplatonism: His Life, Works and Influence, (England: One World Publications, 2002), hlm. 82-83.

[4] Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim: Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), hlm. 83.

[5] Jon McGinnis and David C. Reisman, Classical Arabic Philosophy: An Anthology of Sources, (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2007), hlm. 82.

[6] H. A. Khudori Soleh, Filsafat Islam…, hlm. 101.

[7] K. Bertens, Johanis Ohoitimur, and Mikhael Dua,  Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2018), hlm. 101.

[8] Amirudin. "Memahami Otentisitas Konsep Tuhan: Kajian Konsep Emanasi, Ontologi Dan Kosmologi Filosof Muslim" dalam Jurnal Kaca Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH, (Volume 9, Nomor 1 Februari 2019 : 65-86), hlm. 73.

[9] H. A. Khudori Soleh, Filsafat Islam…,hlm. 99.

[10] Amirudin. "Memahami Otentisitas…, hlm. 71.

[11] Amirudin. "Memahami Otentisitas…, hlm. 74.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Filsafat Pengetahuan dalam Kehidupan Sehari-hari

              Filsafat pengetahuan adalah satu dari beberapa cabang ilmu filsafat yang secara lebih mendalam membahas tentang manusia dan ...