Minggu, 19 Desember 2021

Filsafat Pengetahuan dalam Kehidupan Sehari-hari

 


            Filsafat pengetahuan adalah satu dari beberapa cabang ilmu filsafat yang secara lebih mendalam membahas tentang manusia dan kebenaran. Selain filsafat pengetahuan, ada berbagai macam istilah yang kerap digunakan untuk menyebut pokok bahasan ini, antara lain: Logica Maior. Istilah ini disebut karena filsafat pengetahuan mendahului logika yang biasa dan diandaikan dapat memberi dasar untuk logika, karena mempertanyakan kesanggupan budi untuk mencapai kebenaran. Istilah kedua adalah Critica yang diperkenalkan oleh Immanuel Kant. Istilah ini digunakan karena filsafat pengetahuan bertugas menyelidiki secara kritis kesanggupan dan keterbukaan budi untuk mengenal in se. Kant menyimpulkan bahwa budi manusia tidak sanggup menangkap diri kenyataan sebenarnya (Noumenon), yang dapat dikenal hanyalah fenomen. Istilah ketiga adalah Metaphisica Fundamentalis yang diperkenalkan oleh beberapa filsuf untuk melawan teori Critica Immanuel Kant. Mereka menyimpulkan bahwa budi manusia sanggup mencapai kebenaran, yakni kenyataan sendiri. Sebagaimana Kant menganggap metafisik adalah sesuatu yang tidak mungkin, mereka menganggap filsafat pengetahuan adalah dasar untuk kajian metafisik. Istilah lain adalah Gnoseologi yang dalam bahasa Yunani gnosis berarti pengetahuan umum yang pernah diperkenalkan oleh Alexander Gotlieb Baumgarten. Dan istilah yang terakhir adalah Epistemologi yang berarti pengetahuan atau ilmu, sebab filsafat pengetahuan bertugas mengkaji metode dan nilai ilmu-ilmu tertentu.

            Dari kelima istilah yang ada, penulis lebih tertarik dengan istilah epistemologi. Epistemologi berasal dari kata Yunani episteme yang berarti pengetahuan, dan kata logos yang berarti perkataan, ilmu, pikiran. Kata ‘episteme’ dalam bahasaYunani berasal dari kata kerja epistemai, artinya mendudukkan, menempatkan, atau meletakkan. Maka, episteme secara harfiah berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk “menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya.”

            Menarik bahwa istilah epistemologi diakhiri berasal dari kata logos. Hal ini menunjuk sesuatu yang ekspilit bahwa cabang filsafat ini adalah salah satu dari cabang ilmu. Epistemologi, menurut penulis, meletakkan dasar bagi cabang ilmu lain, terlebih dalam hal mencari dan menemukan kebenaran dalam ilmu tersebut. Setiap cabang ilmu pasti memiliki ilmu spesifik dan epistemologi akan berbicara tentang ilmu dari ilmu tersebut: epistemologi dari epistemologi adalah…Epistemologi dari sosiologi adalah…Epistemologi dari antropologi adalah…Epistemologi dari kosmologi adalah…dan lain-lain.

Sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Oleh karena berbicara tentang pengetahuan manusia, epistemologi juga secara eksplisit berbicara tentang manusia. Epistemologi secara kritis mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya pengetahuan serta mencoba memberi pertanggungjawaban rasional terhadap klaim kebenaran dan objektivitasnya. Selain itu, epistemologi juga merupakan suatu upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri, sesama, lingkungan sekitar, dan alam sekitarnya. Maka epistemologi adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif, dan kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai, ia menilai apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar. Normatif berarti menentukan norma dan tolok ukur penalaran bagi kebenaran pengetahuan.

Epistemologi sebagai cabang ilmu filsafat tidak cukup hanya memberi deskripsi atau paparan tentang bagaimana proses manusia mengetahui itu terjadi (seperti dibuat oleh psikologi kognitif), tetapi perlu membuat penentuan mana yang keliru berdasarkan norma epistemik. Sedangkan kritis berarti banyak mempertanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil kegiatan manusia mengetahui. Yang dipertanyakan adalah baik asumsi-asumsi, cara kerja atau pendekatan yang diambil, maupun kesimpulan yang ditarik dalam pelbagai kegiatan kognitif manusia.

            Epistemologi menjadi sebuah ilmu yang sangat penting untuk dipelajari dan dipahami karena epistemologi tidak semata-mata berbicara tentang pengetahuan, namun berbicara tentang manusia sebagai pemilik ilmu dan pengetahuan tersebut. Oleh karena itu objek kajian epistemologi ini akan juga secara otomatis berbicara tentang manusia. Epistemologi membahas sejauh mana manusia dapat mencapai kebenaran; apakah mungkin manusia sanggup untuk menggapainya; sampai dimanakah kesanggupan budi manusia; sehingga epistemologi membahas tentang masalah kebenaran pengetahuan dan sifat-sifatnya dalam kaitannya dengan diri manusia.

            Epistemologi erat kaitannya dengan filsafat manusia karena epistemologi berbicara tentang akal dan kesanggupan akal manusia untuk mencapai kebenaran. Adelbert Snijders, dalam bukunya yang berjudul Manusia dan Kebenaran mengatakan bahwa manusia dan kebenaran adalah tema paling pokok untuk filsafat pengetahuan atau yang juga disebut epistemologi. Epistemologi membahas pelbagai masalah yang berhubungan dengan pengetahuan. Masalah kebenaran sangat dasariah karena menyangkut segala pengetahuan dan kenyataan. Masalahnya ialah hubungan antara pengetahuan dan kenyataan. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang maksudnya sesuai dengan kenyataan. Apakah budi manusia bersifat tertutup atau terbuka bagi kenyataan? Mungkinkah manusia dapat mengetahui persesuaian pengetahuan dengan kenyataan yang ada di luar pengetahannya? Sampai dimanakah batas keterbukaan? Pertanyaan inilah yang hendak dijawab oleh epistemologi dan sekaligus menjawab pertanyaan atas hubungan antara filsafat pengetahuan dengan filsafat manusia.

            Kebenaran dan pengetahuan yang hendak dicapai dalam epistemologi berdasar pada kehidupan riil manusia. Ada beberapa faktor yang mengakibatkan adanya pengetahuan, antara lain adalah pengalaman manusia. Semua bentuk penyelidikan ke arah pengetahuan mulai dari pengalaman. Maka, hal pertama dan utama yang mendasari dan yang memungkinkan adanya pengetahuan adalah pengalaman. Pengalaman adalah keseluruhan peristiwa perjumpaan dan apa yang terjadi pada manusia dalam interaksinya dengan alam, diri sendiri, lingkungan sosial sekitarnya dan dengan seluruh kenyataan, termasuk Yang Ilahi. Pengalaman dapat diperoleh dari pengamatan panca indra. Misalnya, saya melihat hutan yang begitu lebat. Maka saya dapat membuat suatu konsep tentang hutan tersebut. Dengan telinga misalnya, saya dapat mendengar seorang imam berkotbah tentang kehadiran Allah dalam hidup sehari-hari, maka saya dapat membuat konsep bahwa Allah ada dalam setiap kehidupan saya.

            Selain pengalaman indrawi di atas, pengetahuan juga berdasar dari ingatan manusia. Ingatan dan pengalaman saling berkaitan satu sama lain, sebab tanpa ingatan, pengalaman indrawi tidak akan dapat berkembang menjadi pengetahuan. Di lain pihak, ingatan mengandaikan pengalaman indrawi sebagai sumber dan dasar rujukannya. Saya hanya dapat mengingat apa yang sebelumnya pernah saya alami secara indrawi, entah secara langsung atau tidak langsung. Pada umumnya saya yakin bahwa objek langsung ingatan saya adalah peristiwa masa lalu itu sendiri, dan bukan gambaran tentangnya. Peristiwa masa lalu secara langsung hadir dalam ingatan dan bukan sesuatu yang secara sadar disimpulkan melalui suatu penalaran. Selain itu, ingatan juga tidak selalu benar, dan karenanya tidak selalu merupakan suatu bentuk pengetahuan. Ingatan mengahadapkan saya pada peristiwa masa lalu, maka pernyataan saya sekarang tentangnya dapat saja memuat ketidaktepatan.

            Dasar lain dari terbentuknya pengetahuan adalah kesaksian. Kesaksian disini dimaksudkan penegasan sesuatu sebagai benar oleh seorang saksi kejadian atau peristiwa, dan diajukan kepada orang lain untuk dipercaya. Pengalaman indrawi langsung dan ingatan pribadi mengenai suatu peristiwa atau fakta tertentu tidak selalu dimiliki oleh manusia. Akan tetapi, pengetahuan juga sering kali diperoleh dari kesaksian orang lain yang dapat dipercayai. Masyarakat manusia tidak bisa berjalan kalau dia tidak pernah bisa menerima kesaksian orang lain. Inilah sebabnya dalam masyarakat yang warganya sudah kehilangan kepercayaan satu sama lain, pasti hidup bersamanya akan kacau. Dalam hidup sehari-hari, penulis banyak mendapat pengetahuan dari kesaksian orang lain yang dapat dipercaya. Dalam bidang ilmu pengetahuan misalnya, penulis menerima pendapat para ahli dalam bidangnya untuk saya jadikan sebagai tumpuan. Kendati kesaksian tidak dapat memberi kepastian mutlak mengenai kebenaran isi kesaksiannya, namun sebagai dasar dan sumber pengetahuan cara ini banyak ditempuh. Ilmu pengetahuan seperti sejarah, hukum, dan agama secara metodologis banyak bersandar pada kesaksian orang lain.

            Minat dan rasa ingin tahu juga adalah dasar yang meletakkan adanya pengetahuan. Minat mengarahkan perhatian terhadap hal-hal yang dialami dan dianggap penting untuk diperhatikan. Ini berarti bahwa dalam kegiatan mengetahui selalu sudah termuat unsur penilaian. Orang akan meminati apa yang ia pandang bernilai. Sedangkan rasa ingin tahu mendorong orang untuk bertanya dan melakukan penyelidikan atas apa yang dialami dan menarik minatnya. Rasa ingin tahu erat kaitannya dengan pengalaman kekaguman atau keheranan akan apa yang dialami. Seperti dikatakan oleh Plato, filsafat hadir karena rasa kagum dan heran. Kegiatan ini berlaku untuk semua kegiatan mencari pengetahuan. Maka manusia selalu bertanya untuk mendapatkan jawaban yang ia inginkan.  Karena selalu saja masih ada hal-hal yang belum diketahui, setiap jawaban atas pertanyaan sering memunculkan pertanyaan baru yang mengharapkan jawaban.

            Selain poin-poin yang telah saya sebut di atas, masih ada lagi beberapa faktor lain yang mempengaruhi munculnya pengetahuan, seperti pikiran dan penalaran, logika, bahasa, dan kebutuhan hidup manusia. Tentang kebutuhan manusia ini, dapat dikatakan bahwa kebutuhan manusia merupakan suatu faktor yang mempengaruhi muncul dan berkembangnya pengetahuan manusia. Memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan untuk dapat hidup merupakan suatu bagian dari cara berada manusia. Dalam arti ini kegiatan merupakan cara berada manusia. Berbeda dengan binatang, manusia dapat belajar dan memperoleh pengetahuan, serta dapat mengajarkan pengetahuan itu kepada generasi berikutnya. Selain itu, manusia dapat menciptakan alat, memiliki strategi, dan kebijaksanaan dalam bertindak. Pengetahuan yang benar pada dasarnya dicari manusia untuk dapat bertindak secara tepat. Pengetahuan juga perlu dicari demi diri sendiri terdorong oleh rasa ingin tahu atau demi cinta akan kebenaran. Manusia tidak hanya butuh menguasai dan memanfaatkan dunia sekitar, tetapi juga mengagumi dan memahaminya.

            Dalam kaitannya dengan kebenaran, ada sebuah umpasa (pantun) dalam Bahasa Toba, di mana penulis ada di dalamnya, dikatakan demikian: Ompunta raja di jolo martungkothon siala gundi, na pinungka ni na parjolo, ido siihuthonon ni angka naumpudi. Secara harfiah, arti dari umpasa ini adalah: adat budaya yang dciptakan oleh leluhur itulah yang harus diikuti atau dipedomani yang belakangan. Hal ini berarti bahwa adat budaya yang berlaku dan diberlakukan oleh para leluhur dahulu, itulah yang harus dipedomani oleh generasi penerus. Umpasa yang berisi hukum adat ini sudah tidak mutlak harus dilakukan. Sebab kalau kita melakukan adat budaya sebagaimana para leluhur melakukannya, itu berarti kita tidak menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, terutama dengan kekristenan yang sudah dianut. Karena itu umpasa di atas dapat direvisi menjadi sebagai berikut: Ompunta raja di jolo martungkot siala gundi, na pinungka ni na parjolo sipaune-uneon ni na umpudi. Hal ni berarti bahwa adat budaya yang dilakukan atau diberlakukan para pendahulu kita, hendaklah dipilah-pilah (dipaune-une) oleh generasi penerus, yang dipertahankan dan yang dinilai tidak baik atau bertentangan dengan kekristenan sudah waktunya ditinggalkan atau dimuseumkan. Tetapi perlu hati-hati bahwa di dalam memilah-milah itu harus didahului pemahaman. Jangan sampai yang baik disebut tidak baik karena kurangnya pengetahuan akan kebenaran.

            Sejalan dengan umpasa di atas, ada sebuah umpasa lain yang berbicara tentang hukum yang sama, yaitu: habang lote, dolok marsigurpak-gurpaki, uhum ni angka na parjolo unang ma tahalupai. Secara harfiah, umpasa ini memiliki arti bahwa hukum yang diwariskan leluhur janganlah dilupakan. Nasihat atau pesan kepada orang Batak agar hukum yang diciptakan leluhur dulu janganlah dilupakan, hendaklah dihayati dan tercermin dalam hidup sehari-hari. Walaupun demikian, perlu dicatatkan bahwa hukum ciptaan leluhur ini hendaklah pula dikaji ulang. Kalau hal itu bernilai baik, maka dapat diterima, akan tetapi bila tidak sesuai lagi dengan agama dan modernisasi boleh saja dilupakan atau dimuseumkan.

            Ketiga umpasa yang saya sebut di atas memiliki kesamaan antara satu sama lain. Lantas, apa hubungan umpasa ini dengan teori kebenaran dalam pelajaran filsafat pengetahuan? Umpasa di atas berbcara tentang hukum dan tata cara yang telah dibuat sedemikan rupa oleh nenek moyang Batak Toba agar kiranya diikuti dengan baik. Ada banyak hal yang baik dan benar yang telah dimulai dan dibentuk oleh nenek moyang, dan itulah yang harus diikuti. Bagi penulis, adalah hal yang luar biasa bahwa manusia Batak telah mampu membuat aturan dan hukum adat yang sedemikian kompleks untuk dapat diikuti oleh manusia Batak zaman ini. Tanpa harus menafsir banyak yang telah ada, menurut penulis, masih ada begitu banyak kebenaran yang telah dibuat oleh nenek moyang masih relevan dengan kehidupan manusia sekarang ini. Misalnya saja tentang adat dalihan na tolu (sistem kekerabatan Batak Toba), dapat mengatur parhundul (posisi) setiap orang Batak di dalam adat. Selain itu, dalihan na tolu menjadi alat yang sangat berarti bagi persekutuan masyarakat Batak yang tinggal di perantauan. Demikianlah kebiasaan-kebiasaan yang baik, yang mengandung unsur kebenaran, yang telah diwariskan oleh nenek moyang, hendaknya diikuti dan dirawat oleh manusia Batak sekarang ini agar hidup menjadi lebih baik. Bahwa ada yang tidak lagi sesuai dengan situasi zaman sekarang atau dengan iman kekristenan, perlu ditinjau dengan teliti, bila tidak sesuai maka boleh ditinggalkan.

 



KATEKUMEN Menurut Kitab Hukum Kanonik Kanon 206


Kan. 206 §1 Berdasarkan alasan khusus, juga dikaitkan dengan Gereja para katekumen, yang, atas dorongan Roh Kudus, memohon dengan kehendak jelas untuk diinkorporasi dalam Gereja; dan karenanya dengan kerinduan itu sendiri, seperti juga dengan kehidupan iman, harapan dan kasih yang dijalankannya, digabungkan dengan Gereja yang menyayangi mereka sudah sebagai anak-anaknya sendiri. 

 §2 Para katekumen mendapat perhatian khusus dari Gereja; seraya mengundang mereka untuk menghayati hidup injili dan mengantar mereka merayakan liturgi suci, Gereja sudah melimpahkan kepada mereka pelbagai hak istimewa (praerogativa), yang khas bagi orang-orang kristiani. 

Kanon 204 telah memberikan perbedaan mendasar antara orang-orang yang telah menerima baptisan dan mereka yang tidak; dengannya pembaptisan menjadi penentu posisi dalam persekutuan dengan Gereja Katolik. Sedangkan kanon 206 membahas situasi khusus para katekumen, yaitu orang-orang yang belum dibaptis yang meminta untuk bergabung ke dalam Gereja Katolik. Dalam situasi tertentu, para katekumen belum menikmati persekutuan dengan Gereja Katolik karena mereka belum memenuhi persyaratan esensial dari baptisan.

Katekumen (catechumenus) adalah orang yang belum pernah dibaptis, dan sedang mempersiapkan diri untuk menerima sakramen baptis dalam Gereja Katolik; atau orang yang pernah dibaptis di Gereja Kristen, dan sedang mempersiapkan diri untuk diterima secara resmi dalam Gereja Katolik. Masa persiapannya disebut dengan Katekumenat. Lalu masa katekumenat biasanya berlangsung selama satu tahun, tetapi tetap tergantung pada kebijakan pastor paroki masing-masing.

Penerimaan sakramen baptis haruslah disiapkan dengan semestinya. Karena itu, orang dewasa yang bermaksud menerima sakramen baptis hendaknya diterima dalam Katekumenat dan sejauh mungkin dibimbing lewat pelbagai tahap, menurut tata-perayaan inisiasi yang telah disesuaikan oleh Konferensi Para Uskup. Seorang dewasa hanya dapat dibaptis bila ia telah menyatakan keinginannya untuk menerima baptis, mendapat pengajaran yang cukup mengenai kebenaran-kebenaran iman dan kewajiban-kewajiban Kristiani, dan telah teruji dalam hidup Kristiani melalui Katekumenat.

Dalam buku III tentang “Tugas Gereja Mengajar” mengacu pada Katekumenat dalam judul II, “Kegiatan Misionaris Gereja” (kan. 781-792). Kanon-kanon tersebut menggambarkan periode pra-katekumenat (kan. 788, 1; lihat kan. 787 untuk dialog awal dengan orang-orang yang tidak percaya); katekumenat itu sendiri (kan. 788, §2), dan periode pasca-katekumenat (kan. 789). Orang dewasa yang ingin dibaptis harus melalui tahap-tahap sebagai berikut: masa pra-Katekumenat (simpatisan menjadi ketekumen), yaitu masa pemurnian motivasi calon, sebab baptis menuntut pertobatan dan iman; masa Katekumenat menjadi calon baptis, di mana para calon baptis diberikan pengajaran dan pembinaan iman, agar mereka memahami siapa Kristus dan gereja, dan apa artinya menjadi Kristus; masa calon baptis menjadi baptisan baru, di mana para calon baptis menjadi persiapan baptisan dan penerimaan menjadi anggota Gereja Katolik.

Hak Istimewa para Katekumen

Meskipun para katekumen tidak menikmati persekutuan dengan Gereja Katolik, mereka tetap bergabung dengan Gereja dalam berbagai kegiatan khusus dan Gereja sudah menghargai mereka sebagai miliknya. Kanon 788, §3 memberi wewenang kepada Konferensi para Uskup untuk menentukan hak-hak istimewa bagi mereka. Istilah “hak istimewa” itu penting: karena mereka belum menerima baptisan, para katekumen tidak menikmati hak di Gereja kecuali secara khusus diberikan kepada mereka. Misalnya, kanon 1183, §1 menganggap para katekumen sebagai anggota umat beriman kristiani memiliki hak untuk mendapat upacara pemakaman secara Katolik dan kanon 1170 mengizinkan para katekumen untuk menerima berkat-berkat tertentu. Namun, jika para katekumen berharap untuk masuk ke dalam pernikahan dengan orang Katolik, sebagai belum dibaptis, mereka harus meminta dispensasi dari halangan beda agama (disparitas cultus).

Masa Katekumenat dapat memberikan makna yang mendalam, tidak hanya bagi para katekumen itu sendiri, tetapi juga bagi komunitas Gereja Partikular. Orang-orang Kristen memberikan teladan dalam menghayati iman, harapan, dan kasih bagi para katekumen; para katekumen beserta keinginan mereka yang meminta bergabung secara penuh ke dalam Gereja mendorong umat beriman untuk semakin membangkitkan dan mengaktifkan iman mereka sendiri.

 


TAMBAK, BATU NA PIR, TUGU: Uraian Deskriptif dan Refleksi Kritis atas Penghormatan Masyarakat Batak Toba Terhadap Orang yang Meninggal

 


            Orang Batak Toba yang telah meninggal akan dihormati oleh orang-orang yang mencintainya dengan berbagai cara. Bagi mereka yang beragama Kristen, jasad orang yang sudah meninggal akan dibuat dalam peti dan dimakamkan di dalam tanah. Makam itu biasa disebut tinambor. Namun selain itu, ada juga kebiasaan lain dengan cara menempatkannya dalam satu bangunan yang sudah disiapkan khusus, yang disebut sebagai batu na pir atau simin. Ada juga penghormatan yang lebih besar kepada orang tua yaitu dengan cara membangun tugu. Tugu bukanlah tempat jenazah, tetapi hanya monumen penghormatan yang biasanya didirikan patung. Tentunya masih ada banyak bentuk penghormatan terhadap orang meninggal dalam budaya Batak Toba. Namun penulis hanya akan menguraikan ketiga “bangunan” sebagai tempat jenazah dikuburkan, yaitu tambak, batu na pir, dan tugu.

1.     Tambak

Dari gundukan tanah di pusara seseorang yang dikubur dapat diketahui apakah yang berkubur disitu sudah bercucu atau belum. Kalau belum bercucu maka pusara itu biasa saja. Tetapi apabila sudah bercucu dan diberangkatkan dengan adat na gok[1], yaitu marboan[2], maka gundukan tanah itu lebih lebar dan lebih tinggi.

Untuk membuat gundukan tanah itu lebih lebar dan lebih tinggi, diperlukan bongkahan-bongkahan tanah yang dalam bahasa Batak Toba disebut buki, gogat, atau urbing. Menurut Herman Billy Situmorang untuk kuburan yang sarimatua[3]  bongkah tanah itu 5 tingkat, dan untuk yang saurmatua[4] dan saurmatua bulung[5]  bongkah tanah itu 7 tingkat. Ada juga yang menggunakan ukuran meter, tinggi 1, 5 meter, lebar 0,5 meter, dan panjangnya 3 meter.

Gundukan tanah yang ditinggikan di atas kuburan inilah yang disebut tambak atau dolok-dolok na timbo. Seseorang yang meninggal dan dibuatkan tambaknya, adalah apabila seseorang sudah bercucu dan diberangkatkan dengan adat na gok yaitu marboan. Tentu saja membuatkan tambak ini hanya berlaku di bona pasogit (kampung halaman), di parserakan (perantauan) terutama di kota-kota besar adalah sesuatu hal yang tidak mungkin.

Biasanya manambak atau membuatkan tambak tersebut dilakukan besok harinya setelah dikubur. Hadir pada acara manambak ini adalah dongan sabutuha, boru/bere, mendampingi anak cucu almarhum/almarhumah. Sesudah tambak itu jadi, dilanjutkan dengan manuan ompu-ompu (menanam bunga bakung) di atas gundukan tanah tersebut. Cucu-cucu dari anak laki-laki menanam di sebelah kanan, dan cucu anak dari perempuan menanam di sebelah kiri.

Dulu ada juga yang menanam pohon beringin di atas tambak tersebut. Ada kepercayaan lama, apabila pohon beringin itu tumbuh subur, marurat tu toru (berakar ke bawah) marbulung tu ginjang (berdaun rimbun ke atas) dan mardangka tu lambung (bercabang ke samping), maka keturunannya akan gabe (hidup lebih sejahtera) dan mamopar (banyak keturunan). Belakangan ini sudah tidak ada lagi yang melakukan itu, yang lazim itu adalah tulang kepala ternak boan itu digantungkan di salib.

2.     Batu Na Pir

Secara harfiah batu na pir berarti batu yang keras. Batu na pir adalah bangunan yang terbuat dari bahan batu dan semen, yang di dalamnya disediakan kapling-kapling kuburan untuk 5 atau 7 orang. Nama lain yang lazim dipakai untuk nama bangunan seperti ini adalah simin (semen). Adakalanya disebut juga, bahkan ada yang menyebutnya tugu. Nama yang cermat untuk bangunan ini adalah batu na pir atau simin. Sebab tambak tidak selalu batu na pir, dan tugu bukan tempat berkubur.

Di dinding bangunan yang dinamakan batu na pir tersebut dibuatkan rak-rak untuk meletakkan tengkorak. Apabila yang berkubur di situ sudah lama, lalu kapling itu akan digunakan oleh yang baru meninggal, maka yang lama itu digali dan tengkoraknya pun ditaruh di dalam satu wadah tertentu dan diletakkan di rak yang tersedia. Nama pemilik tengkorak pun dibuatkan agar dapat dibedakan dengan tengkorak lainnya.

Salah satu syarat yang utama untuk boleh membangun batu na pir di satu desa ialah keluarga yang membangun batu na pir tersebut harus mempunyai huta[6] di desa tersebut. Artinya, keluarga pendatang (paisolat) tidak boleh membangun batu na pir di desa tersebut. Kalaupun mereka telah membeli sebidang tanah untuk perkampungan dan secara hukum sudah menjadi miliknya, itu belum cukup. Hendaklah diadatkan atau dikukuhkan bahwa mereka mempunyai huta di desa tersebut.

Tujuan utama membuatkan batu na pir adalah mendekatkan rasa persaudaraan sesama satu ompu, sekaligus memberi penghormatan kepada ompu yang dibuatkan batu na pirnya. Penghormatan yang diberikan tersebut memang tidak lagi dirasakan oleh ompu tersebut karena sudah mati. Yang merasakan justru keturunan yang membuatkannya itu. Ada kebanggaan tersendiri bagi mereka yang sanggup membangun batu na pir ayah atau kakeknya. Itu sebagai bukti bahwa sesama mereka na marhaha maranggi (yang bersaudara) ada hasadaon ni roha (kebersamaan). Diharapkan sesama keturunan mereka kelak, rasa persaudaraan itu tetap terpelihara dan akan selalu tolong-menolong.

Anggota keturunan pemilik batu na pir yang berhak berkubur di batu na pir tersebut ialah:

1.   Bila perkawinannya sudah sah secara adat. Artinya, perkawinannya sudah dikukuhkan secara adat.

2.     Yang meninggal tergolong sarimatua, saurmatua, atau saurmatua bulung.

3.   Bila seseorang itu meninggal dalam status mate mangkar[7] atau mate hatungganeon[8], biasanya lebih dulu dikubur di halaman batu na pir. Bila pada waktunya nanti bercucu, dapat digali dan tengkoraknya disimpan di batu na pir.

4.   Waktu dia meninggal itu harus dengan adat na gok, yaitu marboan atau menyembelih seekor ternak sigagat duhut (pemakan rumput) sebagai boan.

5.     Melaksanakan adat ungkap hombung atau piso na ganjang kepada hula-hula.[9] 

3.     Tugu

Sebutan tugu adakalanya digunakan untuk batu na pir. Menurut penulis penamaan demikian tergolong kurang cermat. Sebab tugu tidaklah terkait dengan kuburan. Di dalam tugu atau areal tugu tidak ada yang dikuburkan, mayat atau tulang-belulang. Tugu adalah bangunan biasa yang dibangun di tempat strategis di desa tempat keturunan satu leluhur bermukim.

Misalnya tugu marga Butarbutar (marga dari penulis) dibangun di Sibisa, kecamatan Ajibata. Itu berarti dulu di masa hidupnya Butarbutar bermukim di situ, dan keturunannya pun mamopar (beranak-cucu) di tempat itu. Dari tempat itulah berserak ke parserakan (perantauan) dan membuka perkampungan baru. Tugu marga Manurung (marga dari ibu penulis) juga dibangun di Sibisa yang berarti marga Manurung bermukim di wilayah Sibisa.  

Adakalanya tugu itu dibangun atas nama leluhur marga, ada juga atas nama satu cabang ompu generasi kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Misalnya Tugu Butarbutar Simananduk (anak pertama dari marga Butarbutar) yang ada di desa Sihiong, Porsea, sedangkan kuburannya berada di Sibisa.

Tujuan utama membangun tugu adalah untuk menjalin rasa persaudaraan sesama satu marga atau satu ompu, terutama untuk generasi mendatang. Juga dapat sebagai bukti bagi generasi penerus, bahwa yang semarga, satu ompu dapat tumbuh kesepakatan (sada ni roha) membangun tugu yang demikian rupa. Hal itu akan menjadi perekat sesama satu marga atau satu ompu menjalin kebersamaan di kemudian hari. Selain itu, untuk mengenang perilaku positif para leluhur yang dibuatkan tugunya agar dapat diteladani keturunannya kelak. Ini semua adalah menjadi sejarah intern marga, intern ompu di kemudian hari.

Refleksi dan Komentar

            Budaya merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Sebagai bagian dari hidup manusia, budaya akan memotori kemajuan bagi manusia tersebut. Namun budaya akan menjadi penghalang apabila budaya melahirkan kebiasaan-kebiasaan negatif. Budaya dibentuk oleh manusia sendiri dan sekaligus manusia dibentuk oleh budayanya. Dalam bahasa antropologi-sosiologi, budaya merupakan segala sesuatu yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, aturan-aturan, yang dihasilkan dan dibentuk oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat. Namun filsafat memandang kebudayaan sebagai usaha dan hasil usaha manusia dengan kekuatan akal budinya demi memenuhi kebutuhannya baik jasmani maupun rohani untuk semakin memanusiakan manusia. Dalam bahasa yang singkat, budaya adalah proses humanisasi.

            Sebagai bagian dari masyarakat, manusia Batak juga pasti mempunyai budaya. Budaya dalam suku Batak sangat kaya dan beragam. Unsur budaya yang penulis uraikan di atas adalah satu unsur kebudayaan Batak Toba. Penulis tinggal di huta Sibisa, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba. Uraian di atas bukan hanya sekadar tinjauan pustaka, tetapi juga merupakan kenyataan lapangan di mana penulis menghabiskan masa kecil di kampung tersebut. Dan contoh silsilah di atas merupakan silsilah nenek moyang penulis sendiri.

            Penulis melihat uraian dari unsur kebudayaan di atas dalam dua kata: baik dan kurang baik. Menurut hemat penulis, segala unsur kebudayaan pasti mengandung unsur baiknya. Unsur baik disini yaitu tujuan filsafat budaya itu sendiri yakni proses humanisasi. Membuat tambak, batu na pir, dan tugu adalah unsur kebudayaan yang pantas dipuji dan dilestarikan. Tujuan utama membuat tambak, batu na pir, dan tugu tersebut adalah tak lain tak bukan sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang sudah meninggal. Memang menghormati orang meninggal dengan cara tersebut tidaklah membawa pengaruh apa pun bagi orang yang meninggal tersebut, tetapi orang yang menghormati tersebut memperoleh nilai bahwa jasa-jasa orang yang sudah meninggal pantaslah diingat. Memang menghormati dan menghargai orang jauh lebih tepat ketika orang tersebut masih hidup. Namun kematian adalah suatu keniscayaan maka setelah meninggal pun pantaslah untuk dihormati.

            Selain untuk menghormati orang yang sudah meninggal, membuat tambak, batu na pir, dan tugu adalah satu cara yang sangat baik untuk membangun relasi yang akrab di antara keturunan orang yang dibuatkan tambaknya. Tujuan ini rasanya sangat mulia apabila sungguh tercapai demikian. Sering terjadi ketika orang tua sudah meninggal, maka keturunan mereka menjadi renggang. Kebiasaan masyarakat batak mangaranto (merantau) juga menjadi salah satu pemicu renggangnya hubungan di antara mereka. Selain itu, retaknya hubungan keluarga sering terjadi karena saling berebut harta warisan, terutama tanah. Maka tambak, batu na pir, dan tugu bisa menjadi satu penanda bahwa mereka yang membangun bangunan tersebut pernah terlibat kerjasama yang baik, sebab bangunan tersebut dapat berdiri kokoh hanya kalau mereka dapat mardos ni roha (bekerja sama). Paling tidak, dengan melihat bangunan dan berziarah ke tambak tersebut, mereka akan mengingat poda (wasiat) yang pernah diungkapkan oleh orang tua mereka itu.

            Setelah melihat unsur kebaikan, penulis mau mencoba melihat beberapa unsur kebudayaan tersebut yang kurang baik. Membuat batu na pir dan tugu bukanlah sesuatu yang mudah terutama dalam hal biaya. Boleh jadi membuat satu batu na pir membutuhkan biaya yang biayanya sama dengan membangun rumah permanen. Hal ini mengandaikan bahwa mereka yang terlibat dalam pembangunan tersebut adalah orang-orang yang memiiliki kelas ekonomi menengah ke atas. Namun kenyataannya bahwa tidak semua anggota keluarga memiliki keadaan ekonomi yang mencukupi. Adakalanya anggota keluarga yang ikut terlibat harus memaksakan diri untuk memberi sumbangan sebab sebagai anggota keluarga, mereka memiliki kewajiban untuk ikut didalamnya. Keluarga yang ekonominya kurang mencukupi hendaknya disokong oleh keluarga yang keadaan ekonominya mencukupi. Dan apabila ternyata kondisi ekonomi keluarga rata-rata kurang mencukupi hendaknya tidak memaksakan diri untuk membangun batu na pir dan tugu tersebut. Menghormati orang tua yang sudah meninggal dengan cara membuatkan bangunan yang megah bukanlah satu-satunya cara. Bahkan cara terbaik untuk menghormati mereka adalah dengan berdoa kepada Allah untuk keselamatan kekal jiwa mereka.

            Selain itu, dengan dibuatnya bangunan megah, ada kesan bahwa jiwa orang yang sudah meninggal akan berbahagia. Dengan dibuatkannya bangunan tersebut, keluarga yang membuat bangunan tersebut merasa bahwa permintaan mereka melalui arwah orang meninggal tersebut akan lebih mudah tercapai. Kenyataan bahwa kepercayaan tradisional orang Batak bahwa orang tua yang sudah meninggal dapat mendengar dan memberi permintaan masih terasa. Hal ini tampak ketika upacara ziarah di makam, ada saja ungkapan yang selalu penulis dengar, “martinangi marbinege maho oppung di angka pangidoan ni siminik mon. Dongani jala parrohahon ma hami manang didia hami maringanan”. Artinya, “dengarkanlah permintaan kami anak-anakmu ini. Bersedialah menemani dan menjagai kami dimana pun kami berada.” Hal ini tentu bertentangan dengan iman kekristenan. Hanya Allah saja yang mampu membuat segala sesuatu dapat terjadi. Sekian dan terima kasih.

 

Sumber Bacaan

Sinaga, Richard. Meninggal: Adat Dalihan Natolu. Jakarta: Dian Utama, 1999.



[1] Adat na gok secara harfiah dapat diterjemahkan dengan “adat yang penuh”. Adat na gok adalah upacara adat yang dipestakan dan dihadiri oleh kaum kerabat. Kelompok hula-hula (pihak pemberi perempuan), pihak boru (penerima perempuan) dan dongan sabutuha (kerabat semarga) atau yang dikenal sebagai dalihan na tolu saling memberi dan menerima adat sesuai dengan kedudukannya masing-masing.

[2] Marboan secara harfiah berarti “ada yang dibawa”. Marboan artinya bahwa upacara adat na gok tersebut dirayakan dengan menyembelih hewan ternak. Menurut adat Dalihan na tolu, seseorang yang meninggal sarimatua, saurmatua, dan saurmatua bulung sudah harus marboan. Ternak yang dapat dikategorikan sebagai boan haruslah sigagat duhut (ternak pemakan rumput) yaitu lombu sitio (sapi), gaja toba (kerbau), dan ada juga yang menyembeliih kuda. Apa maknanya? Kata boan yang berarti “bawa” hendak mengatakan bahwa dengan adanya ternak yang disembelih pada acara adat pemberangkatannya ke kubur, itu berarti bahwa yang meninggal tersebut sudah membawa kehormatan. Di tempat lain juga disebut Ola, yang berarti “ganti”. Maksudnya, dalam menghadapi kematian tersebut ilu (air mata) dan habot ni roha (dukacita) sudah pantas diganti dengan engkel dohot las ni roha (sukacita).

[3] Sarimatua adalah status seseorang meninggal ketika dia sudah memiliki cucu tetapi belum semua anaknya menikah.

[4] Saurmatua adalah status seseorang yang sudah meninggal ketika sudah memiliki cucu dari semua anaknya atau paling tidak memiliki cucu dari anaknya laki-laki dan anaknya perempuan.

[5] Saurmatua bulung adalah status seseorang yang sudah meninggal ketika semua anaknya sudah menikah dan bahkan anaknya tersebut sudah memiliki cucu.

[6] Huta secara harfiah berarti kampung. Kampung yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah jika orang atau kelompok marga tersebut memiliki rekam jejak yang mengatakan bahwa mereka adalah pemilik kampung tersebut. Untuk dapat memiliki huta biasanya didapat ketika nenek moyang mereka menempati wilayah tersebut untuk pertama kalinya.

[7] Mate mangkar adalah status seseorang yang meninggal di mana anak-anaknya masih kecil. Anak-anak yang ditinggal disebut na saksak mardum, artinya belum ada yang bisa mengurus diri sendiri. Suami yang ditinggal mati oleh istri disebut matompas tataring, artinya perapian yang ambruk. Sedangkan istri yang ditinggal mati oleh suami disebut matipul ulu, artinya patah kepala.

[8] Mate hatungganeon adalah status seseorang yang meninggal ketika umurnya sudah pantas untuk memiliki cucu, anak-anaknya sudah dewasa, bahkan sudah ada yang menikah, namun belum juga memiliki cucu. Acara adat yang dilaksanakan sama dengan adat mate mangkar.

[9] Ungkap hombung dan piso na ganjang adalah satu adat dimana pihak hula-hula menerima sesuatu yang berharga dari pihak keluarga yang meninggal. Ungkap sinonim dengan buha yang berarti buka, membuka. Hombung adalah potongan kayu besar yang dilubangi yang biasa dibuat untuk menyimpan harta benda keluarga. Maka ungkap hombung berarti membuka atau mengambil sesuatu dari dalam hombung. Piso na ganjang secara harfiah berarti pisau yang panjang. Piso na ganjang adalah salah satu pusaka bagi orang Batak. Apabila yang meninggal adalah nenek, maka disebut ungkap hombung, dimana anak laki-laki dari saudara laki-lakinya berhak mangungkap hombung. Apabila yang meninggal adalah kakek, maka disebut piso na ganjang, di mana yang berhak menerima adalah pihak hula-hula dari yang meninggal. Ungkap hombung dan piso na ganjang biasanya ditandai dengan pemberian ternak, emas atau uang. Namun dewasa ini, adat ini sudah digantikan dengan uang.

MAKNA SIMBOLIK ULOS DALAM ADAT MENINGGAL BATAK TOBA



Menutup jenazah dengan ulos tidak ada kaitannya dengan kepercayaan lama atau pelebegu. Acara penutupan jenazah hanyalah lambang pernyataan duka yang mendalam secara adat. Kalau dalam Kitab Suci yang meninggal itu dibungkus dengan kain kafan, yaitu kain lenan yang putih bersih, di adat Batak dengan kain tenunan Batak yang namanya ulos. Dengan ditutupnya jenazah dengan ulos, maka secara adat kematian itu sudah sah. Ulos penutup jenazah itu disebut ulos saput. Setelah ulos saput dibentangkan di atas jenazah, barulah diberi ulos ulos tujung dan ulos sampetua kepada pasangan yang ditinggal mati, diikuti dengan pemberian ulos holong kepada anak yang ditinggal mati.

Kerabat manakah yang memberi ulos? Untuk menjawab pertanyaan ini tidaklah gampang. Sebab sering terjadi perdebatan di masyarakat Dalihan Na Tolu[1]. Maka sangat baik juga kebiasaan dalam budaya Batak yang mengadakan tonggo raja, yaitu acara yang dibuat sebelum acara puncak dimana dibicarakan berbagai hal yang perlu dilakukan dalam acara puncak tersebut, termasuk menentukan siapa yang akan memberikan ulos kepada yang meninggal. Acara tonggo raja umumnya dihadiri kerabat Dalihan Na Tolu: dongan tubu[2], hula-hula[3], dan boru[4] serta masyarakat setempat. Dan pada umumnya, adat di luat (kampung) orang yang meninggal itulah yang berlaku, sesuai dengan prinsip: sidapot solup do na ro. Artinya bahwa kebiasaan adat di tempat yang kita datangi itu yang menjadi berlaku.

Berikut adalah nama ulos yang diberikan kepada orang yang meninggal dan kerabat yang memberikan.

1.     Ulos Parsirangan

Ulos parsirangan diberikan kepada seseorang yang meninggal dimana ia belum berkeluarga. Ulos ini digelar menutup mayat dari leher sampai kaki. Wajahnya tidak ikut ditutup. Ulos parsirangan artinya ulos perpisahan, yang berarti sebagai tanda perpisahan dari pihak keluarga kepada yang meninggal. Siapa yang memberi? Ada dua pendapat, yaitu ada yang mengatakan bahwa ulos ini diberikan oleh orang tuanya, dan ada juga yang mengatakan diberi oleh tulang[5]nya. Di tempat tinggal orang tua penulis, kerabat yang memberikan ulos ini adalah pihak tulang dari yang meninggal.  

2.     Ulos Saput

Pada prinsipnya, ulos saput sama dengan ulos parsirangan, hanya saja ulos saput diberikan kepada orang yang meninggal bila ia sudah berkeluarga, atau hot ripe. Ulos saput memiliki makna supaya orang yang meninggal selamat dalam perjalanan menuju Tuhannya dan supaya semua keluarga yang ditinggalkan tidak terpuruk dalam kesedihan.

Tentang siapa yang memberi, inilah yang menjadi perdebatan karena berbagai tempat pasti memiliki kebiasaan adat yang sedikit berbeda. Paling tidak, ada dua tempat/wilayah besar yang memberlakukan bentuk adat yang berbeda:

A)   Kebiasaan adat Humbang, Samosir, dan Silindung

Umumnya di Humbang, Samosir, dan Silindung berpendapat: apabila yang meninggal adalah ibu/nenek, kerabat yang memberi ulos saput adalah hula-hula. Dan apabila yang meninggal adalah bapak/kakek, maka yang memberikan ulos saput adalah pihak tulang.

B)   Kebiasaan adat Toba Holbung

Adat Toba Holbung adalah wilayah yang meliputi Balige dan Porsea sekitarnya. Mereka berpendapat: apabila yang meninggal adalah ibu/nenek, maka yang memberikan ulos saput adalah pihak tulang dari yang meninggal, yang dalam bahasa Toba disebut tulang rorobot[6]. Dan apabila yang meninggal adalah bapak/kakek, maka yang memberikan ulos saput adalah tulang.

3.     Ulos Tujung

Kalau ulos saput diberikan kepada orang yang meninggal, maka ulos tujung adalah ulos yang diberikan kepada suami atau istri yang ditinggal pasangannya. Apabila pasangan yang ditinggal masih muda dan masih mungkin mencari atau menerima pasangan baru, maka ulos yang diberikan disebut dengan nama ulos tujung. Ulos ini biasanya dikerudungkan di kepala. Pengerudungan ulos di kepala suami atau istri yang ditinggal mati adalah sebagai lambang pernyataan dukacita yang mendalam secara adat Dalihan Na Tolu. Selain itu, makna pemberian ulos tujung ini adalah menggambarkan bahwa tidak ada lagi teman hidup, tidak akan ada lagi temannya untuk mengikuti acara adat, dan ini menggambarkan tanggungjawab semakin besar. Jika yang meninggal adalah suami, maka tanggung jawab istri semakin berat, karena dia sudah sekaligus menjadi kepala rumah tangga. Maka tujuan pemberian ulos ini adalah supaya suami atau istri yang ditinggal tetap kuat menjalani apa pun yang terjadi tanpa teman hidup.

            Pada prinsipnya dalam kebiasaan awal adat Batak, ulos tujung ini dikerudungkan di kepala selama masa berkabung, yaitu selama tujuh hari. Setelah tujuh hari barulah kerabat datang membukanya. Setelah tujung itu dibuka, secara adat si suami atau istri yang ditinggal mati pasangannya itu sudah berhak menerima lamaran laki-laki lain atau berhak mencari pasangan lain. Namun dewasa ini, kebiasaan ini sudah diganti yaitu dengan membukanya selekas acara pemakanan. Acara itu disebut ulaon sadari, yang artinya tujung itu diberi pagi hari dan dibuka sore harinya. Namun tidaklah berarti, setelah tujung itu dibuka maka dia langsung dapat menerima atau mencari pasangan baru.

Tentang siapa yang memberi, juga harus dilihat berdasarkan adat setempat, seperti dijelaskan dalam dua kebiasaan adat besar di atas. Dalam adat Humbang, Silindung, dan Samosir, apabila yang meninggal adalah perempuan, maka pihak hula-hula memberikan ulos saput dan ulos tujung diberikan oleh tulangnya kepada suami yang ditinggal. Dan apabila yang meninggal adalah laki-laki, maka yang memberikan ulos saput adalah tulang, dan yang memberikan tujung kepada istri yang ditinggal adalah hula-hula.

Dan pendapat yang kedua, yakni adat Toba Holbung: apabila yang meninggal adalah perempuan, tulang rorobot akan memberikan ulos saput, dan suami yang ditinggal akan diberikan ulos tujung oleh hula-hula. Dan apabila yang meninggal adalah laki-laki, maka yang memberikan ulos saput adalah tulang, dan ulos tujung diberikan oleh hula-hula kepada istri yang ditinggalkan.

Untuk mempermudah pemahaman, tabel di bawah ini akan membantu:

a.     Adat Humbang, Samosir, dan Silindung 

Yang Meninggal

Pemberi Ulos Saput

Pemberi Ulos Tujung

Ibu/nenek

Hula-hula

Tulang

Bapak/kakek

tulang

Hula-hula


                   b.     Adat Toba Holbung 

Yang Meninggal

Pemberi Ulos Saput

Pemberi Ulos Tujung

Ibu/nenek

Tulang Rorobot

Hula-hula

Bapak/kakek

tulang

Hula-hula

 

4.     Ulos Sampetua

Ulos sampetua adalah ulos yang diberikan kepada suami/istri yang ditinggal pasangannya, apabila mereka sudah tergolong sarimatua[7], saurmatua[8], dan saurmatua bulung[9]. Hal ini juga mengandaikan mereka sudah tua, sehingga tidak memungkinkan lagi untuk menikah. Ulos sampetua ini tidak dikerudungkan di kepala, melainkan digelar (diuloshon) di pundak (abara). Hal ini menjadi simbol yang memiliki makna bahwa kematian suami atau istri yang sudah berumur lanjut dan bercucu bahkan bercicit begitu, tidak lagi sebagai duka cita yang mendalam. Selain itu, diberikannya ulos sampetua kepada pasangan yang ditinggal mati, tidak lagi menerima atau mencari pasangan atau tidak akan kawin lagi sampai akhir hayatnya. Sampetua, secara harfiah berarti, sampailah menjadi tua. Tua di sini juga berarti memiliki umur panjang dan diberkati Tuhan. Maka ulos sampetua memiliki arti bahwa semoga yang ditinggal memiliki umur yang Panjang dan dalam keadaan sehat walafiat.

Terkait siapa yang memberikan ulos ini, pada prinsipnya berlaku seperti pemberian ulos tujung pada penjelasan di atas.

5.     Ulos Holong

            Selain ulos saput dan ulos tujung/sampetua, di acara adat untuk yang meninggal sarimatua, dan saurmatua, dan saurmatua bulung ada lagi ulos, yaitu ulos holong. Secara harfiah, ulos holong berarti ulos kasih, yang berarti sebagai simbol kasih dari pihak tulang dan hula-hula. Mengenai penerima dan pemberi ulos holong ini, ada berbagai pendapat. Untuk penerima, ada kalanya diterima oleh anak laki-laki tertua sebagai perwakilan. Ada kalanya diberi dua, satu untuk anak laki-laki yang tertua dan satu lagi untuk anak perempuan yang diwakili yang tertua. Selain itu, ada juga pendapat bahwa penerima ulos ini bukan kepada anak, tetapi diletakkan di atas peti jenazah.

 

Sumber Bacaan

Sinaga, Richard. Meninggal: Adat Dalihan Natolu. Jakarta: Dian Utama, 1999.



[1] Dalihan Na Tolu menjadi kerangka hubungan kekerabatan darah dan perkawinan yang mempertalikan kelompok. Istilah Dalihan Na Tolu mempunyai arti tungku berkaki tiga. Ini menunjukkan tiga kedudukan fungsional sebagai konstruksi social yang terdiri atas tiga hal yang menjadi dasar bersama.

[2] Dongan tubu adalah kelompok orang-orang yang posisinya “sejajar”, yaitu: teman/saudara semarga.  

[3] Hula-hula adalah kelompok marga istri, kelompok marga ibu (istri bapak), kelompok marga nenek, dan beberapa generasi kelompok marga istri anak, kelompok istri cucu, kelompok istri saudara dan seterusnya dari kelompok dongan tubu.

[4] Boru adalah anak perempuan, atau kelompok marga yang mengambil istri dari anak perempuan.

[5] Tulang adalah kelompok marga dari ibu, yang dalam bahasa Indonesia disebut paman.

[6] Tulang rorobot adalah kelompok marga dari nenek; atau kelompok marga dari tulang dari ibu.

[7] Sarimatua adalah status seseorang meninggal ketika dia sudah memiliki cucu tetapi belum semua anaknya menikah.

[8] Saurmatua adalah status seseorang yang sudah meninggal ketika sudah memiliki cucu dari semua anaknya atau paling tidak memiliki cucu dari anaknya laki-laki dan anaknya perempuan.

[9] Saurmatua bulung adalah status seseorang yang sudah meninggal ketika semua anaknya sudah menikah dan bahkan anaknya tersebut sudah memiliki cucu.

Filsafat Pengetahuan dalam Kehidupan Sehari-hari

              Filsafat pengetahuan adalah satu dari beberapa cabang ilmu filsafat yang secara lebih mendalam membahas tentang manusia dan ...